WINBIE GENESIS: Strategi Korporasi Dan Penciptaan Nilai winbie genesis

Pages

Thursday, May 7, 2015

Strategi Korporasi Dan Penciptaan Nilai



Strategi Korporasi Dan Penciptaan Nilai




Strategi korporasi dapat meresap ke dalam sendi sendi kehidupan perusahaan dan berdampak panjang   (Collis  &  Montgomery  (2005).  Hal  ini  terjadi  karena  karena  strategi  korporasi menimbulkan konsekuensi yang terbesar dibandingkan keputusan keputusan manajerial lainnya. Mengapa demikian?



Riset membuktikan bahwa 60% aset di USA dikendalikan oleh perusahaan multi-bisnis. Di Eropa keadaannya juga serupa, sementara di negara negara sedang membangun, kelompok usaha besar  mendominasi kepemilikan aset nasional. Persoalannya, kinerja ekonomi modern dalam konteks global seperti sekarang ini dipengaruhi oleh efektivitas strategi korporasi, dan bagaimana eksekutif perusahaan merancang dan mengimplementasikan rancangan tersebut. Hrebiniak dalam Making  Strategy  Work  (2005)  berargumen,  mewujudkan  strategi  yang  berhasil  lebih  susah dibandingkan dengan membuatnya. Untuk itu, perlu dibuat suatu kesamaan konsepsi mengenai strategi  korporate  agar  upaya  restrukturisasi,  re-fokus,  rasionalisasi  dan  rekayasa  organisasi menjadi tepat aksi dan tepat sasaran. Hal ini penting, karena perkembangan terakhir menunjukkan para investor mulai menaruh perhatian lebih banyak pada shareholder  value, dan peluang untuk memperolehnya dapat mereka lihat dari strategi korporasi.


Uraian di atas secara implisit menunjukkan adanya tiga faktor penting dalam strategi korporasi. Pertama  berkaitan  dengan  penciptaan  nilai  (value  creation)  sebagai  tujuan  utama  strategi korporasi. Faktor  kedua berhubungan dengan konfigurasi berbagai sumber daya yang ada guna menunjang  usaha  (venture)  pada  berbagai  lingkup  bisnis,  dan  faktor  ketiga  terkait  dengan bagaimana perusahaan  mengkoordinasikan semua aktivitas bisnisnya dalam hirarki korporasi untuk mewujudkan penciptaan nilai. Tiga serangkai (value, konfigurasi, dan koordinasi) penting dipahami oleh eksekutif bisnis. Banyak  eksekutif perusahaan induk justru merusak value yang sudah  terbangun  dan  menjadi  kekuatan  unit  bisnis  (Campbell,  2003).  Lebih  jauh  Campbell menjelaskan, ada empat cara di mana perusahaan induk dapat mempengaruhi kinerja perusahaan anak (subsidiaries) yang berdampak pada penghapusan atau  penciptaan value: secara langsung

dan berdiri sendiri (stand-alone),  secara tidak langsung (linkage), melalui fungsi dan layanan yang berada di perusahaan induk, serta melalui aktivitas pengembangan korporasi.


Argumen lain yang mendukung pentingnya penciptaan nilai dalam strategi korporasi diajukan oleh Hubbard (2000), namun alasan yang mendasarinya sedikit berbeda. Secara agregat, strategi korporasi harus menghasilkan value yang lebih tinggi dibandingkan dengan value yang dimiliki semua  unit  bisnis  jika  secara  terpisah  dijumlahkan.  Jika  value  yang  dihasilkan  dari  strategi korporasi lebih kecil dari penjumlahan value dari semua unit bisnis, Hubbard mengatakan, tidak ada alasan kuat untuk  menggabungkan unit unit bisnis tersebut, atau dapat pula dikatakan strategi korporasi tidak  berfungsi  dengan baik. Dalam penciptaan nilai, kata kuncinya adalah sinergi (De Wit dan Meyer, 2005). Namun itupun tidak cukup, karena value yang dihasilkan dari sinergi unit bisnis ini masih harus diuji dengan value yang dimiliki oleh kelompok kelompok usaha lainnya (Porter, 1998).


Jika  demikian,  ada  dua  permasalahan  yang  perlu  dicermati;  bagaimana  membangun  strategi korporasi,  dan sekaligus melaksanakannya agar berhasil. Menjawab yang pertama, ada banyak model  yang pernah dibangun, satu dengan lainnya saling melengkapi atau sebaliknya berbeda sama sekali  bahkan ada yang berlawanan cara pandangnya. Hal ini terjadi karena penekanan masing masing model berbeda, sebagai contoh Ansoft (1965) dan Andrew (1971) berada pada satu  kubu  ketika  mereka   mengajukan  Concept  of  Corporate   Strategy  yang  menekankan pentingnya peran manajer umum (general   managers) dalam pengembangan strategi korporasi. Sebaliknya, pada periode yang hampir  bersamaan Chandler (1962), Bower (1970), dan Vancil (1978) mengemukakan konsep strategi korporasi  menggunakan pendekatan struktur organisasi. Kontribusi pemikiran mereka yang hingga kini masih  banyak dianut adalah structure  follows strategy”.  Collis dan Montgomery (2005) melalui  Resourse-Based View (RBV) mengajukan model Segitiga Strategi Korporasi, yang sisi sisinya merepresentasikan sumber daya (resources), bisnis, dan organisasi. Di dalam segitiga ini terdapat Visi,  Sasaran (goals)  dan objektif yang menentukan besaran penggunaan ketiga aspek tadi dalam  pergulatannya mencapai keunggulan korporasi (corporate advantage).


Di pihak lain, muncul pemikiran bahwa pembangunan strategi korporasi merupakan konsekuensi dari  aktivitas multi-bisnis atau diperlukan karena adanya diversifikasi usaha (Hubbard, 2000). Dengan  demikian,  ancangan  awalnya  adalah  memahami  alasan   alasan  diversifikasi  serta memiliki pengetahuan tentang karakteristik berbagai jenis bisnis yang dikelola oleh perusahaan

induk. Secara implisit pendekatan Hubbard ini hampir serupa dengan model segitiga-nya Collis dan Montgomery, perbedaannya terletak pada cara pendekatan, Collis dan Montgomery beranjak dari apa saja yang dimiliki korporasi (inside-out approach)  sementara Hubbard mengawali dari lingkungan luar yang kemudian menjadi pemicu bagi pengembangan strategi korporasi (outside- in approach).  Dukungan kepada inside-out approach  dalam menciptakan value makin menguat pada dekade pertama di abad  milenium ini (Campbell, 2003) sebagaimana dicontohkan Canon ketika mengembangkan produk – produk barunya, ABB ketika menerapkan strategi yang didasari pada ketrampilan komersial dan orientasi  manajer, serta Emerson yang dalam penciptaan nilai berlandaskan pada penajaman pemikiran strategik  dalam pengelolaan sumber daya dan biaya secara efektif dan efesien.


Terkait dengan pelaksanaan strategi korporasi, isu atau lingkup aktivitas dan level level strategi yang  terdapat didalamnya perlu dikenali dengan baik (Hrebiniak, 2005). Implementasi strategi korporasi dilakukan pada level korporat, unit bisnis, dan antar unit bisnis. Pada level korporate, isu   isu  yang   menjadi  perhatian  antara  lain  berkenaan  dengan  manajemen  portofolio, diversifikasi, termasuk integrasi vertikal, dan alokasi sumber daya lintas-bisnis. Sedangkan pada level unit bisnis, fokus perhatian diberikan pada antara lain: penentuan produk dan atau jasa yang akan  ditawarkan,  bagaimana  melaksanakan  persaingan  untuk  mencapai  posisi  unggul  dalam industri terkait, dan bagaimana pula  dengan membedakan diri (differentiate)  dari para pesaing. Lebih jauh Hrebiniak mengemukakan, dalam  hal pelaksanaan strategi korporasi, agar tingkat keberhasilannya lebih besar perhatian utama perlu diberikan kepada pilihan struktur dan integrasi seluruh  elemen  organisasi  yang  merefleksikan  dan  konsisten  dengan  sasaran  strategi  bisnis. Namun sebelum itu perlu diperhatikan pula bahwa strategi yang jelas (clear) dan fokus memiliki peluang yang lebih baik dibandingkan dengan strategi yang meluas dan  tidak jelas. Kejelasan meliputi format, substansi dan isu isu yang menjadi ciri pada masing  masing tingkatan strategi.


Melengkapi konsepsi Hrebiniak, De Wit dan Meyer (2005) menambahkan pentingnya perusahaan agar selalu tanggap terhadap perubahan atau dinamika yang terjadi di dalam dan luar lingkungan perusahaan. Strategi korporasi harus mampu mengatasi berbagai problem yang terkandung dalam lingkungan  multi-bisnis;  seperti:  tingginya  biaya  untuk  mewujudkan  kepatuhan  (governance costs),            lambatnya  proses  pembuatan  keputusan,  ketidak-akuran  (incongruence)  strategi  unit bisnis, tidak berfungsinya (disfunctional) pengendalian, serta tumpulnya (dull) kebijakan insentif. Selain  persoalan  tersebut  di  atas,  potensi  bahaya  juga  muncul  pada  strategi  korporasi  yang

cenderung agresif dan berorientasi perluasan usaha di luar core competency-nya (Zook, 2004). Hasil riset Zook periode tahun 1997 2002 menyimpulkan 75% dari strategi ekspansif dengan cara   mendirikan  bisnis  baru  yang  berdekatan/terkait  dengan  bisnis  utama  (yang  sukses) mengalami kegagalan.


Dari uraian diatas dapat dibuat beberapa kesimpulan. Pertama, ukuran perusahaan tidak menjadi hambatan bagi dikembangkannya strategi korporasi. Yang menjadi alasan perlunya dibangun strategi korporasi lebih besar terletak pada bagaimana mengelola berbagai unit bisnis yang berada pada  satu  naungan  atau  kendali.  Mengacu  pada  kondisi  multi-bisnis  ini,  rancangan  strategi korporasi harus dapat menjawab tuntutan penciptaan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai yang diberikan  oleh  masing masing unit bisnis secara terpisah. Untuk itu diperlukan konfigurasi struktur organisasi dan koordinasi sumber daya. Kedua, dalam membangun strategi korporasi para manajer di tingkat  korporat perlu memiliki wawasan yang komprehensif, tidak hanya  menguasai  aspek  bisnis  terkait  tetapi  diperlukan  pemahaman  tentang  stakeholder  dan dinamika lingkungan bisnis global. Ketiga,  hambatan dan kesulitan yang dihadapi pada tahap perencanaan dan pengembangan relatif masih kecil, tidak demikian halnya ketika masuk tahap implementasi.   Mengatasi   hal   tersebut,   strategi   korporasi   harus   ditindak-lanjuti   dengan serangkaian aksi yang terkendali dan terukur.


Meskipun dikatakan bahwa strategi korporasi fit-in untuk semua ukuran perusahaan sepanjang mengelola multi-bisnis, dan pendekatan inside-out merupakan trend yang sedang berkembang sehingga  banyak kelompok usaha yang mengembangkan bisnisnya terkait dengan bisnis inti, namun pada kenyataannya banyak juga yang gagal. Kritik terhadap ini semua adalah masih tetap diperlukannya  kearifan  dalam kepemimpinan pada perusahaan induk atau pimpinan tertinggi (CEO). Strategi korporasi ternyata tidak menjadi penentu utama dalam keberhasilan bisnis.

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com