Strategi Korporasi Dan Penciptaan
Nilai
Strategi korporasi dapat meresap ke dalam sendi – sendi kehidupan perusahaan dan berdampak panjang (Collis
&
Montgomery
(2005).
Hal
ini terjadi karena karena
strategi
korporasi
menimbulkan konsekuensi yang terbesar dibandingkan
keputusan – keputusan
manajerial lainnya.
Mengapa demikian?
Riset membuktikan bahwa 60% aset di USA dikendalikan oleh perusahaan multi-bisnis. Di Eropa
keadaannya juga serupa, sementara di negara – negara sedang membangun, kelompok usaha besar mendominasi kepemilikan aset nasional. Persoalannya, kinerja ekonomi modern dalam konteks global seperti sekarang ini dipengaruhi oleh efektivitas strategi korporasi, dan bagaimana eksekutif perusahaan merancang dan mengimplementasikan rancangan tersebut. Hrebiniak dalam
Making
Strategy Work (2005) berargumen, mewujudkan strategi yang berhasil
lebih susah dibandingkan dengan membuatnya. Untuk itu, perlu dibuat suatu kesamaan konsepsi mengenai
strategi
korporate
agar upaya
restrukturisasi, re-fokus,
rasionalisasi
dan rekayasa
organisasi menjadi tepat aksi dan
tepat sasaran.
Hal ini penting,
karena perkembangan
terakhir menunjukkan
para
investor mulai menaruh perhatian lebih banyak pada shareholder
value, dan peluang untuk
memperolehnya dapat mereka lihat dari strategi korporasi.
Uraian di atas secara implisit menunjukkan adanya tiga faktor penting dalam strategi korporasi. Pertama berkaitan
dengan penciptaan nilai
(value creation) sebagai
tujuan utama strategi korporasi. Faktor kedua berhubungan dengan konfigurasi berbagai sumber daya yang ada guna
menunjang
usaha
(venture) pada
berbagai lingkup bisnis,
dan faktor ketiga
terkait dengan
bagaimana perusahaan
mengkoordinasikan semua aktivitas bisnisnya dalam hirarki korporasi
untuk mewujudkan penciptaan nilai. Tiga serangkai (value, konfigurasi, dan koordinasi) penting
dipahami oleh eksekutif bisnis. Banyak eksekutif perusahaan induk justru merusak value yang sudah terbangun
dan menjadi kekuatan unit
bisnis (Campbell,
2003).
Lebih jauh
Campbell menjelaskan, ada empat cara di mana perusahaan induk dapat mempengaruhi kinerja perusahaan
anak (subsidiaries) yang berdampak pada penghapusan atau penciptaan value: secara langsung
dan berdiri sendiri (stand-alone),
secara tidak langsung (linkage), melalui fungsi dan layanan
yang berada di perusahaan induk,
serta melalui aktivitas pengembangan korporasi.
Argumen lain yang mendukung pentingnya penciptaan nilai dalam strategi korporasi diajukan oleh Hubbard (2000), namun alasan yang mendasarinya sedikit berbeda. Secara agregat, strategi korporasi harus menghasilkan value yang lebih tinggi dibandingkan dengan value yang dimiliki
semua
unit bisnis jika secara
terpisah
dijumlahkan. Jika value yang dihasilkan
dari
strategi korporasi lebih kecil dari penjumlahan value dari semua unit bisnis, Hubbard mengatakan, tidak ada alasan kuat untuk
menggabungkan unit – unit bisnis tersebut, atau dapat pula dikatakan
strategi korporasi tidak
berfungsi dengan baik. Dalam penciptaan nilai, kata kuncinya adalah sinergi (De Wit dan Meyer, 2005). Namun itupun tidak cukup, karena value yang dihasilkan dari sinergi unit bisnis ini masih harus diuji dengan value yang dimiliki oleh kelompok – kelompok usaha lainnya (Porter,
1998).
Jika demikian, ada dua
permasalahan
yang perlu
dicermati;
bagaimana membangun
strategi
korporasi, dan sekaligus melaksanakannya agar berhasil. Menjawab yang pertama, ada banyak model yang pernah dibangun, satu dengan lainnya saling melengkapi atau sebaliknya berbeda
sama sekali
bahkan ada yang berlawanan cara pandangnya. Hal ini terjadi karena penekanan masing – masing model berbeda, sebagai contoh Ansoft (1965) dan Andrew (1971) berada pada satu
kubu ketika
mereka mengajukan
Concept of Corporate Strategy
yang menekankan pentingnya peran manajer umum (general
managers) dalam pengembangan strategi korporasi.
Sebaliknya, pada periode yang hampir bersamaan Chandler (1962), Bower (1970), dan Vancil
(1978) mengemukakan konsep strategi korporasi menggunakan pendekatan struktur organisasi. Kontribusi pemikiran mereka yang hingga kini masih
banyak dianut adalah “structure follows strategy”. Collis dan Montgomery (2005) melalui
Resourse-Based View (RBV) mengajukan
model Segitiga Strategi Korporasi,
yang sisi –sisinya merepresentasikan
sumber daya (resources), bisnis, dan organisasi. Di dalam segitiga ini terdapat Visi, Sasaran (goals)
dan objektif yang
menentukan besaran penggunaan ketiga aspek tadi dalam
pergulatannya mencapai keunggulan korporasi (corporate advantage).
Di pihak lain, muncul pemikiran bahwa pembangunan strategi korporasi merupakan konsekuensi
dari aktivitas multi-bisnis atau diperlukan karena adanya diversifikasi usaha (Hubbard, 2000). Dengan demikian,
ancangan awalnya adalah
memahami
alasan – alasan diversifikasi
serta
memiliki pengetahuan tentang karakteristik berbagai jenis bisnis yang dikelola oleh perusahaan
induk. Secara implisit pendekatan Hubbard ini hampir serupa dengan model segitiga-nya Collis dan Montgomery, perbedaannya terletak pada cara pendekatan, Collis dan Montgomery beranjak
dari
apa saja yang dimiliki korporasi (inside-out approach)
sementara Hubbard mengawali dari lingkungan luar yang kemudian menjadi pemicu bagi pengembangan strategi korporasi (outside-
in
approach).
Dukungan kepada inside-out approach
dalam menciptakan value makin menguat
pada
dekade pertama di abad milenium ini (Campbell, 2003) sebagaimana dicontohkan Canon ketika mengembangkan produk – produk barunya, ABB ketika menerapkan strategi yang didasari
pada
ketrampilan komersial dan orientasi
manajer, serta Emerson yang dalam penciptaan nilai berlandaskan pada penajaman pemikiran strategik
dalam pengelolaan sumber daya dan biaya secara efektif dan
efesien.
Terkait dengan pelaksanaan strategi korporasi, isu
atau lingkup aktivitas dan level – level strategi
yang
terdapat didalamnya perlu dikenali dengan baik (Hrebiniak, 2005). Implementasi strategi korporasi dilakukan pada level korporat, unit bisnis, dan antar unit bisnis. Pada level korporate, isu
–
isu
yang menjadi perhatian
antara
lain
berkenaan dengan
manajemen portofolio, diversifikasi, termasuk integrasi vertikal, dan alokasi sumber daya lintas-bisnis. Sedangkan pada
level unit bisnis, fokus perhatian diberikan pada antara lain: penentuan produk dan atau jasa yang akan
ditawarkan, bagaimana
melaksanakan persaingan
untuk mencapai posisi
unggul dalam
industri terkait, dan bagaimana pula dengan membedakan diri (differentiate)
dari para pesaing. Lebih jauh Hrebiniak mengemukakan, dalam hal pelaksanaan strategi korporasi, agar tingkat keberhasilannya lebih besar perhatian utama perlu diberikan kepada pilihan struktur dan integrasi
seluruh elemen
organisasi
yang
merefleksikan
dan konsisten dengan
sasaran strategi bisnis. Namun sebelum itu perlu diperhatikan pula bahwa strategi yang jelas (clear) dan fokus memiliki
peluang yang lebih baik dibandingkan dengan strategi yang meluas dan
tidak jelas. Kejelasan
meliputi format, substansi dan isu – isu yang menjadi ciri pada masing – masing tingkatan
strategi.
Melengkapi konsepsi Hrebiniak, De Wit dan
Meyer (2005) menambahkan pentingnya perusahaan
agar selalu tanggap terhadap perubahan atau dinamika yang terjadi di dalam dan luar lingkungan
perusahaan. Strategi korporasi harus mampu mengatasi berbagai problem yang terkandung dalam lingkungan multi-bisnis; seperti: tingginya
biaya
untuk mewujudkan
kepatuhan
(governance costs), lambatnya
proses pembuatan
keputusan, ketidak-akuran
(incongruence)
strategi
unit
bisnis, tidak berfungsinya (disfunctional) pengendalian, serta tumpulnya (dull) kebijakan insentif.
Selain persoalan
tersebut di atas,
potensi bahaya
juga
muncul
pada strategi korporasi yang
cenderung agresif dan berorientasi perluasan usaha di luar core competency-nya (Zook, 2004).
Hasil riset Zook periode tahun 1997 – 2002 menyimpulkan 75% dari strategi ekspansif dengan cara mendirikan bisnis
baru yang berdekatan/terkait dengan bisnis
utama (yang
sukses) mengalami kegagalan.
Dari uraian diatas dapat dibuat beberapa kesimpulan. Pertama, ukuran perusahaan tidak menjadi
hambatan bagi dikembangkannya strategi korporasi. Yang menjadi alasan perlunya dibangun
strategi korporasi lebih besar terletak
pada
bagaimana mengelola berbagai unit bisnis yang
berada
pada satu naungan atau kendali.
Mengacu
pada
kondisi multi-bisnis
ini, rancangan
strategi korporasi harus dapat menjawab tuntutan penciptaan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan
nilai yang diberikan oleh masing – masing unit bisnis secara terpisah. Untuk itu diperlukan
konfigurasi struktur organisasi dan koordinasi sumber daya. Kedua, dalam membangun strategi korporasi para manajer di tingkat
korporat perlu memiliki wawasan yang komprehensif, tidak
hanya
menguasai
aspek bisnis terkait
tetapi
diperlukan
pemahaman
tentang stakeholder
dan
dinamika lingkungan bisnis global. Ketiga,
hambatan dan kesulitan yang dihadapi pada tahap perencanaan dan pengembangan relatif masih kecil, tidak demikian halnya ketika masuk tahap
implementasi. Mengatasi hal tersebut, strategi korporasi harus ditindak-lanjuti dengan
serangkaian
aksi yang terkendali dan terukur.
Meskipun dikatakan bahwa strategi korporasi fit-in untuk semua ukuran perusahaan sepanjang mengelola multi-bisnis, dan pendekatan inside-out merupakan trend yang sedang berkembang sehingga
banyak kelompok usaha yang mengembangkan bisnisnya terkait dengan bisnis inti,
namun pada kenyataannya banyak juga yang gagal. Kritik terhadap ini semua adalah masih tetap
diperlukannya
kearifan dalam kepemimpinan pada perusahaan induk atau pimpinan tertinggi (CEO). Strategi korporasi ternyata tidak menjadi penentu utama dalam keberhasilan bisnis.
0 comments:
Post a Comment