Jurnal
Zenit; Vol. 1 No. 3 Desember 2012, Hal. 210-221; ISSN: 2252-6749
Aspek
Perpajakan Dalam Transfer Pricing dan Problematika
Praktik
Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Ita
Salsalina Lingga
Dosen
Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi-Univ.Kristen Maranatha
Abstract
The
up rise of globalization in these modern times has resulted in the rapid growth
of
multinational
trade and cross-border intercompany transactions (related parties
transactions).
In a global economy where multinational enterprises (MNEs) play a
prominent
role, many transaction normally take place between members of the group. This
phenomena
has brought impact to the practice of transfer pricing. The purpose of transfer
pricing
are to achieve performance evaluation and optimal determination of taxes.
Transfer
prices
are significant for both taxpayers and tax administration because they
determine in
large
part the income and expenses, and therefore taxable profits, of associated
enterprises
in
different tax jurisdictions. In order to regulate the practice of transfer
pricing and tax
avoidance,
Directorate General of Taxes has made regulations that govern the authority to
realocate
transfer price among divisions that have related parties.
Keywords:
transfer pricing, tax avoidance, arm’s length principle
Pendahuluan
Fenomena
globalisasi dalam dunia bisnis dewasa ini secara tidak langsung mendorong
merebaknya
konglomerasi dan divisionalisasi/departementasi perusahaan. Globalisasi telah
membawa
dampak semakin meningkatnya transaksi transnasional atau cross-border
transaction.
Arus barang, jasa, modal, dan tenaga kerja juga semakin mudah dan lancar
antarnegara.
Belum lagi dengan kehadiran WTO (World Trade Organization) yang
memfasilitasi
perdagangan transnasional. Dalam lingkungan perusahaan multinasional dan
konglomerasi
serta divisionalisasi terjadi berbagai transaksi antar anggota (divisi) yang
meliputi
penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak berwujud lainnya,
penyediaan
pinjaman
dan lain sebagainya (Mangoting, 2000). Dengan adanya usaha konglomerasi ini,
kita
mengenal berbagai nama grup perusahaan terkenal yang merambah dunia bisnis
secara
nasional,
regional maupun internasional (multinational corporations). Selanjutnya
perusahaan-perusahaan
ini membentuk holding company untuk mengkoordinasikan bisnis
mereka.
Dalam perusahaan tersebut, biasanya sebagian besar aktivitas bisnis terjadi
diantara
mereka sendiri. Dalam menentukan harga, imbalan, dan lain sebagainya antar
mereka
biasanya ditentukan berdasarkan kebijakan harga transfer (transfer pricing)
yang
ditentukan
oleh holding company yang dapat sama atau tidak sama dengan harga pasar
(Gusnardi,
2009).
Praktik
transfer pricing ini dulunya hanya dilakukan oleh perusahaan semata-mata
hanya
untuk menilai kinerja antar anggota atau divisi perusahaan, tetapi seiring
dengan
1
perkembangan
zaman, praktik transfer pricing juga dipakai untuk meminimalkan jumlah
pajak
yang harus dibayar (Mangoting, 2000). Transfer Pricing ini telah menuai
banyak
sekali
masalah di berbagai negara karena dalam praktiknya mereka menggunakan hal-hal
yang
sangat bertentangan dengan aturan yang ada.
Tujuan
dari penulisan artikel ini adalah mencoba memaparkan aspek penetapan
harga
transfer (transfer pricing) ditinjau dari sudut akuntansi maupun
perpajakan serta
problematika
praktik penghindaran pajak (tax avoidance) maupun kecurangan-kecurangan
yang
marak terjadi akibat praktik transfer pricing yang tidak wajar.
Pembahasan
Definisi
Transfer Pricing
Menurut
Simamora dalam Mangoting (2000:70), transfer pricing didefinisikan
sebagai
nilai
atau harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk
mencatat
pendapatan
divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying
division).
Transfer
pricing juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate
pricing,
interdivisional
atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan untuk
keperluan
pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota.
Organization
for Economic Co-operation and Development (OECD)
mendefinisikan
transfer
pricing sebagai harga yang ditentukan dalam transaksi antar anggota grup
dalam
sebuah
perusahaan multinasional dimana harga transfer yang ditentukan tersebut dapat
menyimpang
dari harga pasar wajar sepanjang cocok bagi grupnya. Mereka dapat
menyimpang
dari harga pasar wajar karena posisi mereka yang berada dalam keadaan
bebas
untuk mengadopsi prinsip apapun yang tepat bagi korporasinya. “..In a
multinational
enterprise
(MNE) many transaction normaly take place between members of the group. The
price
charged for such transfer do not necessarily represent a result of the free
play of
market
forces, but may, for a number of reasons and because the MNE is in a position
toadopt
whatever piciple is convenient to its as a group (OECD,1979)”.
Jerry
M. Rosenburg dalam Santoso (2004:126) mengungkapkan bahwa “transfer
pricing
is the price charged by one segment of an organization for a product or service
it
supplies
to another part of the same firm transfer pricing “
atau harga transfer adalah harga
yang
ditentukan oleh satu bagian dari sebuah organisasi atas penyerahan barang atau
jasa
yang
dilakukannya kepada bagian lain dari organisasi yang sama.
Garrison,
Noreen and Brewer (2007:278) mendefinisikan transfer pricing sebagai
harga
yang dibebankan jika satu segmen perusahaan menyediakan barang atau jasa kepada
segmen
lain dari perusahaan yang sama.
Ditinjau
dari aspek perpajakan, Susan M. Lyons mendefinisikan transfer pricing
sebagai
harga yang dibebankan oleh suatu perusahaan atas barang, jasa, harta tak
berwujud
kepada
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa (International Tax Glossary,
Amsterdam,
1996:312).
Pengertian
lain dari transfer pricing menurut Suryana (2012) adalah transaksi
barang
dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang
tidak
wajar,
bisa dengan menaikkan (mark up) atau menurunkan harga (mark down),
kebanyakan
dilakukan
oleh perusahaan global (multinational enterprise). Yang dimaksud dengan
perusahaan
multinasional adalah perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu negara di
bawah
pengendalian satu pihak tertentu.
Tujuan
Penetapan Transfer Pricing
2
Tujuan
penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara
departemen-departemen
atau divisi-divisi perusahaan pada waktu mereka saling
menggunakan
barang dan jasa satu sama lain (Simamora, 1999:273). Selain itu transfer
pricing
terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer
divisi
penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan
perusahaan
secara keseluruhan.
Menurut
Horngren, Datar dan Foster (2008:375) penetapan harga transfer (transfer
pricing)
seharusnya membantu mencapai strategi dan tujuan perusahaan dan sesuai dengan
struktur
organisasi perusahaan. Secara khusus, transfer pricing seharusnya
mendukung
kesesuaian
tujuan dan tingkat usaha manajemen puncak. Subunit yang menjual produk atau
jasa
seharusnya dimotivasi untuk menurunkan biaya mereka; subunit yang membeli
produk
atau
jasa seharusnya dimotivasi untuk memperoleh dan menggunakan input secara
efisien.
Transfer
Pricing seharusnya juga membantu manajemen puncak mengevaluasi kinerja
dari
subunit
individual dan manajer mereka. Jika manajemen puncak mendukung tingkat
desentralisasi
yang tinggi, harga transfer seharusnya mendukung tingkat otonomi subunit
yang
tinggi dalam pengambilan keputusan. Ini berarti manajer subunit yang ingin
memaksimalkan
laba operasi dari sub unitnya seharusnya memiliki kebebasan untuk
melakukan
transaksi dengan subunit lain dari perusahaan (atas dasar harga transfer) atau
untuk
melakukan transaksi dengan pihak eksternal.
Menurut
Suryana (2012), tujuan dilakukannya transfer pricing, pertama untuk
mengakali
jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi
rendah.
Kedua, menggelembungkan profit untuk memoles (window-dressing)
laporan
keuangan.
Negara dirugikan triliunan rupiah karena praktik transfer pricing
perusahaan
asing
di Indonesia (Kontan, 20 Juni 2012).
Metode
Penentuan Transfer Pricing
Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD) merupakan organisasi
kerjasama
ekonomi negara-negara maju yang dibentuk tahun 1961. Tujuan didirikannya
OECD
adalah: (1) mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penyerapan tenaga
kerja
dan peningkatan standar hidup yang berkelanjutan, (2) perluasan ekonomi yang
sehat,
dan
(3) kontribusi perluasan perdagangan dunia secara multilateral berdasarkan non-
diskriminasi
dari semua anggota.
Bidang
yang menangani perpajakan dalam OECD dilakukan oleh Committee on
Fiscal
Affairs (CFA). Terkait dengan transfer pricing CFA melalui sub groupnya
yaitu
working
party No.6 menerbitkan OECD transfer pricing guidelines (Darussalam,
2008).
multinasional
dan otoritas pajak dalam masalah transfer pricing. Guidelines ini dibuat
untuk
membantu otoritas pajak maupun perusahaan multinasional dalam memberikan
panduan
tentang cara penyelesaian perselisihan
transfer pricing
yang saling
menguntungkan
antara masing-masing otoritas pajak, dan antara otoritas pajak dengan
perusahaan
multinasional.
Beberapa
ketentuan umum dalam pedoman (OECD, 1997) antara lain yaitu: (1)
menerapkan
arms-length principle dengan preferensi pada metode transaksi tradisional
(traditional
transaction-based method), (2) penerapan tingkat komparabilitas yang
menekankan
fungsi, risiko yang disandang dan asset yang dimanfaatkan, (3) pengenalan
metode
laba (profit based method) yang disebut transactional net margin
method (TNMM),
dan
(4) memahami pentingnya dokumentasi atas transfer pricing dan peranan
pinalti dalam
meningkatkan
kepatuhan.
3
Metode
dalam penentuan transfer pricing antara lain:
1.
Metode Tradisional
1.
Comparable Uncontrolled Price Method (CUPM)
Metode
perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled
price) atau disingkat CUPM adalah metode penentuan harga transfer
yang
dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan
antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga dalam
transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa
dalam kondisi atau keadaan yang sebanding. Kondisi yang tepat untuk
menggunakan
CUPM ini adalah :
· Barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang
identik dalam
kondisi
yang sebanding; atau
· Kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan
Istimewa
dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa identik
atau
memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan
penyesuaian
yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi
yang
timbul.
Apabila
tak ada kondisi di atas yang sesuai, maka CUPM tidak dapat digunakan
dan
Wajib Pajak harus menggunakan metode lainnya yang sesuai.
2.
Cost-Plus Method (CPM)
Harga
pasar wajar ditentukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh
yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa
atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi
sebanding
dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa pada harga
pokok
penjualan yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Kondisi
yang tepat untuk menggunakan CPM adalah:
· Barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan
Istimewa;
· Terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint
facility
agreement)
atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply
agreement)
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
· Bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
Apabila
tak ada kondisi di atas yang sesuai, maka metode CPM tidak dapat
digunakan
dan Wajib Pajak harus menggunakan metode lainnya yang sesuai.
3.
Resale Price Method (RPM)
Metode
harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat RPM adalah
metode
penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga
dalam
transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan
istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi
laba
kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali
produk
tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau
penjualan
kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
Kondisi
yang tepat untuk menggunakan metode ini adalah :
· Tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib
Pajak yang
mempunyai
Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak
mempunyai
Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan
hasil
analisis fungsi, meskipun barang/jasa yang diperjualbelikan berbeda dan
4
· Pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai
tambah yang signifikan
atas
barang atau jasa yang diperjualbelikan.
2.
Metode Transactional Profit:
1.
Profit Split
· Metode ini digunakan apabila data pembanding tidak cukup lengkap.
· Laba dari transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan
istimewa dapat
diketahui
dengan cara melakukan analisis fungsi atas kegiatan usaha yang
dilakukannya.
2.
Transactional Net Margin Method (TNMM)
· Metode ini juga digunakan apabila data pembanding tidak cukup
lengkap.
· Membandingkan laba bersih dengan Harga Pokok Penjualan (HPP),
Penjualan
atau
aktiva yang dipergunakan untuk menghasilkan laba bersih tersebut, setelah itu
laba
bersih atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
3.
Metode Lainnya:
OECD
Guidelines tidak memperkenankan metode lainnya untuk menentukan harga
pasar
wajar karena metode ini tidak mencerminkan harga pasar wajar yang
sesungguhnya.
Metode ini terdiri dari global split method dan juga formulary
apportionment
method.
Dalam
Pasal 18 ayat (3) UU PPh, dinyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak
berwenang
untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta
menentukan
utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi
Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya
sesuai
dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa
dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang
independen,
metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus atau metode lainnya.
Maksud
diadakannya ketentuan ini (pasal 18 ayat 3 UU PPh) adalah untuk
mencegah
terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan
istimewa.
Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan
dilaporkan
kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang
seharusnya.
Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali
besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara
para
Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali
jumlah
penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara
pihak
yang independen (Comparable Uncontrolled Price Method), metode harga
penjualan
kembali (Resale Price Method), metode biaya-plus (Cost-Plus Method)
atau
metode
lainnya seperti metode pembagian laba (Profit Split Method) dan metode
laba
bersih
transaksional (Transactional Net Margin Method).
Problematika
Praktik Penghindaran Pajak
Transfer
pricing merupakan isu klasik di bidang perpajakan, khususnya menyangkut
transaksi
internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. Dari sisi
pemerintahan,
transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi
penerimaan
pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser
kewajiban
perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high
tax
countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax
countries). Di
pihak
lain dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya
(cost
efficiency)
termasuk di dalamnya minimalisasi pembayaran pajak perusahaan (corporate
5
income
tax). Bagi perusahaan berskala global (multinational corporations),
transfer pricing
dipercaya
menjadi salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam
memperebutkan
sumber daya yang terbatas (Santoso, 2004).
Dalam
lingkungan perusahaan multinasional, terjadi berbagai transaksi antar
anggota
yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak berwujud
lainnya,
penyediaan pinjaman dan sebagainya. Penentuan harga atas berbagai transaksi
antar
anggota korporasi tersebut dikenal dengan sebut Dalam lingkungan perusahaan
multinasional,
terjadi berbagai transaksi antar anggota yang meliputi penjualan barang dan
jasa,
lisensi hak dan harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya.
Penentuan
harga atas berbagai transaksi antar anggota dikenal dengan sebutan transfer
pricing
(harga transfer). Di Indonesia, transaksi antar anggota perusahaan
multinasional
tidak
luput dari rekayasa transfer pricing, terutama oleh wajib pajak
penanaman modal
asing
(PMA) dan cabang perusahaan asing di Indonesia yang termasuk dalam kategori
bentuk
usaha tetap (BUT). Sebagian besar perusahaan tersebut bergerak di bidang
manufaktur
dan mempunyai kaitan internal yang cukup substansial dengan induk
perusahaan
atau afiliasinya di negara manca. Perusahaan di Indonesia terutama
dimanfaatkan
sebagai manufaktur barang madya (intermediate goods) atau bahan mentah
(raw
materials) mereka. Produk hasil pabrik Indonesia tersebut dipasarkan ke
pasar lokal
atau
diekspor ke Negara ketiga, demikian pernyataan Gunadi dalam Santoso (2004).
Ditinjau
dari perspektif perpajakan internasional, suatu perusahaan multinasional
akan
berusaha meminimalkan beban pajak global mereka dengan cara memanfaatkan
ketiadaan
ketentuan perpajakan suatu negara yang tidak mengatur ketentuan anti
penghindaran
pajak (anti tax avoidance) atau mengaturnya tetapi tidak memadai,
sehingga
menimbulkan
peluang yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan praktik penghindaran
pajak.
Menurut Clausing dalam Darussalam dan Septriadi (2005) perusahaan multinasional
mempunyai
peran yang sangat besar dalam perdagangan internasional. Diperkirakan dua
per
tiga perdagangan dunia terjadi antara perusahaan yang mempunyai hubungan
istimewa
(dalam
satu grup). Oleh karena berhubungan dengan jumlah ekspor dan impor barang
dalam
jumlah yang besar yang dapat memengaruhi jumlah pajak yang terutang, tentu saja
transaksi
tersebut dapat menimbulkan konflik antara pihak fiskus dan Wajib Pajak.
Pengertian
penghindaran pajak (tax avoidance) selalu diartikan sebagai kegiatan
meminimalkan
beban pajak tanpa melanggar ketentuan perpajakan (legal) sedangkan
penyelundupan
pajak (tax evasion) diartikan sebagai kegiatan meminimalkan beban pajak
dengan
melanggar ketentuan perpajakan (ilegal). Timbul pertanyaan, apakah penghindaran
pajak
dapat selalu dikatakan legal. Menurut Roy Rohatgi dalam Darussalam dan
Septriadi
(2005),
di banyak negara penghindaran pajak dibedakan menjadi penghindaran pajak yang
diperbolehkan
(acceptable tax avoidance/tax planning/tax mitigation) dan yang tidak
diperbolehkan
(unacceptable tax avoidance). Dengan kata lain, penghindaran pajak dapat
saja
dikategorikan sebagai kegiatan legal ataupun ilegal. Suatu penghindaran pajak
dikatakan
ilegal apabila transaksi yang dilakukan semata-mata untuk tujuan penghindaran
pajak
atau transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan usaha yang baik (bonafide
business
purpose).
Oleh karena itu, untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan
oleh
perusahaan multinasional, sebagian besar negara telah mempunyai ketentuan anti
penghindaran
pajak (Brian J. Arnold dan Michael J. Mc Intyre dalam Darussalam dan
Septriadi,
2005).
Model
penghindaran pajak kemungkinan sering terjadi pada ekspor komoditas.
Para
eksportir, masih banyak menggunakan kontrak penjualan lama, yang belum
direnegosiasi,
untuk pelaporan omset pada SPT Tahunan. Pengusaha juga melakukan
6
transfer
pricing dengan mendirikan perusahaan perantara di negara bertarif pajak
rendah
seperti
Hongkong dan Singapura, sebelum menjual ke enduser (Suryana, 2012).
Praktik
penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional pada umumnya
dilakukan
dengan cara (a) transfer pricing, (b) thin capitalization (c)
treaty shopping, dan
(d)
controlled foreign corporation (CFC). Transfer pricing biasanya
dilakukan dengan cara
memperbesar
harga beli dan memperkecil harga jual antara perusahaan dalam satu grup dan
mentransfer
laba yang diperoleh kepada grup perusahaan yang berkedudukan di negara
yang
menerapkan tarif pajak yang rendah. Thin capitalization dilakukan
melalui pemberian
pinjaman
oleh perusahaan induk kepada anak perusahaannya yang berkedudukan di negara
lain,
di mana perusahaan induk lebih suka memberikan dana kepada anak perusahaannya
dengan
cara pemberian pinjaman daripada dalam bentuk setoran modal. Alasannya, biaya
bunga
(biaya yang timbul atas pinjaman) dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak
anak
perusahaan. Sedangkan dividen (biaya yang berkaitan dengan modal) tidak dapat
dibebankan
sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Treaty shopping dilakukan
dengan
cara
memanfaatkan fasilitas tax treaty suatu negara oleh perusahaan yang
tidak berhak atas
fasilitas
treaty tersebut, sedangkan controlled foreign corporation dilakukan
dengan cara
menunda
pengakuan penghasilan modal yang bersumber di luar negeri (biasanya di negara
tax
haven) untuk dikenakan pajak di dalam negeri.
Ketentuan
anti penghindaran pajak di Negara Indonesia, diatur dalam Pasal 18
Undang-Undang
No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), akan tetapi tidak
diatur
secara ketat seperti yang diterapkan di banyak negara. Sebagai contoh, dalam
ketentuan
perpajakan Indonesia tidak ada pembatasan perbandingan antara modal dan utang
(Debt
Equity Ratio) untuk mencegah pembebanan biaya bunga yang tidak wajar, dan
juga
belum
ada prosedur rinci tentang Advance Pricing Agreement (APA) yang
bisa diterima
oleh
pihak fiskus maupun Wajib Pajak sebagai jalan tengah untuk memecahkan kebuntuan
pemeriksaan
transaksi transfer pricing yang begitu rumit dan memerlukan waktu yang
lama.
Oleh karena ketiadaan sebagian aturan tentang anti penghindaran pajak dalam
ketentuan
perpajakan Indonesia, tentu saja akan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional
untuk memperkecil beban pajak mereka (Darussalam dan Septriadi, 2005).
Skema
transfer pricing yang sering dilakukan oleh perusahaan multinasional
adalah
dengan cara mengalihkan laba mereka dari negara yang tarif pajaknya tinggi ke
negara
yang tarif pajaknya rendah. Untuk mencegah adanya pengalihan atas laba adalah
dengan
berbagai macam cara antara lain:
1.
Otoritas pajak di berbagai Negara membuat aturan transfer pricing yang
ketat seperti
penerapan
hukuman atau sanksi.
2.
Persyaratan dokumen yang lengkap.
3.
Pemeriksaan pajak terhadap perusahaan yang melakukan praktik transfer
pricing.
Mengenai
ketentuan transfer pricing, harus ditentukan Negara mana yang berhak
memajaki
laba
yang dihasilkan oleh perusahaan yang menjalankan usahanya lebih dari satu
Negara.
Untuk
perusahaan yang berorientasi pada laba, maka perusahaan multinasional akan
berusaha
untuk meminimalkan beban pajak melalui praktik penghindaran pajak (tax
avoidance) di
negara-negara yang tidak mengatur secara ketat tentang ketentuan anti
penghindaran
pajak. Di Indonesia, untuk menangkal skema transfer pricing, maka sudah
dibuat
unit khusus (setingkat seksi) dalam jajaran Direktorat Pemeriksaan dan
Penagihan,
yaitu
Sub Direktorat Pemeriksaan Transaksi Khusus Seksi Transfer Pricing.
Dalam
pemeriksaan
transfer pricing harus ada kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Agar tidak ada
pemeriksaan
yang dilakukan di luar koridor ketentuan perpajakan yang berlaku
(http://www.jtanzilco.com/main/index.php/component/content/article/1-kap-news/437).
7
Terkait
dengan isu transfer pricing, secara umum otoritas fiskal harus
memperhatikan
dua hal mendasar agar koreksi pajak terhadap dugaan transfer pricing
mendapat
justifikasi yang kuat. Kedua hal prinsipil tersebut adalah: (1) afiliasi
(associated
enterprises)
atau hubungan istimewa (special relationship) dan (2) kewajaran atau
arm’s
length
principle (Harimurti, 2007).
Afiliasi
atau Hubungan Istimewa
Dalam
Pasal 18 ayat (4) UU PPh dinyatakan bahwa hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud
pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10
ayat
(1)
dianggap ada apabila:
1.
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah
25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak
dengan
penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak
atau
lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
terakhir;
2.
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di
bawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
3.
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus
dan/atau
ke samping satu derajat.
Dalam
penjelasan Pasal 18 ayat (4) UU PPh dinyatakan bahwa hubungan istimewa di
antara
Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan
yang
lain yang disebabkan:
1.
Kepemilikan atau penyertaan modal; atau
2.
Adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain
karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak Orang Pribadi
dapat
pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Penggunaan
kata “hubungan istimewa” dalam akuntansi sudah tidak digunakan
lagi
tetapi menggunakan istilah “berelasi” merujuk pada istilah bahasa Inggris yang
menggunakan
kata “related party”. Pihak-pihak berelasi didefinisikan secara luas
dalam
PSAK
7. Suatu perusahaan dikatakan mempunyai hubungan istimewa dengan perusahaan
pelapor
jika (paragraf 9):
· Perusahaan tersebut yang melalui satu atau lebih perantara,
mengendalikan, atau
dikendalikan
oleh, atau berada di bawah ventura bersama, dengan perusahaan pelapor
(termasuk
holding companies, subsidiaries, sub-subdiaries, dan fellow
subsidiaries).
· Perusahaan tersebut adalah perusahaan asosiasi (sebagaimana
didefinisikan dalam
PSAK
15 Investasi dalam Perusahaan Asosiasi);
· Perusahaan tersebut adalah perusahaan ventura bersama di mana
perusahaan pelapor
menjadi
venture (sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 12 Bagian Partisipasi
dalam
Ventura
Bersama);
· Perusahaan tersebut adalah perorangan (dan anggota keluarga dekat
dari perorangan
tersebut)
dari anggota manajemen kunci perusahaan pelapor atau induk perusahaannya;
· Perusahaan tersebut adalah perusahaan yang mengendalikan, venture
bersama, atau
yang
dipengaruhi secara signifikan oleh individu (dan anggota keluarga dekat dari
individu
tersebut) dari anggota manajemen kunci perusahaan pelapor atau induk
perusahaannya;
dan
· Perusahaan tersebut adalah suatu program imbalan pascakerja untuk
imbalan kerja dari
salah
satu perusahaan pelapor atau perusahan mana pun yang berelasi dengan
perusahaan
pelapor.
8
Hubungan
istimewa dengan suatu pihak dapat mempunyai dampak atas posisi
keuangan
dan hasil usaha perusahan pelapor.
Pihak-pihak
berelasi dapat melakukan transaksi yang tidak akan dilakukan oleh
pihak-pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Transaksi antara pihak-pihak
berelasi
juga dapat dilakukan dengan harga yang berbeda dengan transaksi serupa yang
dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Sebagai contoh,
anak
perusahaan yang biasanya menjual produknya ke pihak independen dengan harga
jual
normal,
mungkin akan diminta untuk menjual produknya ke induk perusahaan dengan
harga
pokok saja. Namun bisa saja dua perusahaan yang berelasi memiliki transaksi
yang
tidak
istimewa. Contohnya adalah anak perusahaan yang menjual dengan harga jual
normal
kepada
induknya. Mengingat dampak dari hubungan istimewa dengan suatu pihak, PSAK 7
mensyaratkan
pengungkapan informasi tertentu dari pihak-pihak berelasi (Juan dan
Wahyuni,
2012:535).
Kewajaran
(Arm’s Length Principle)
Berkaitan
dengan masalah kewajaran, menurut PSAK No. 17, menyatakan bahwa
pengakuan
akuntansi suatu pengalihan sumber daya secara normal didasarkan pada suatu
harga
yang disepakati pihak yang bersangkutan. Harga yang berlaku antara pihak yang
tidak
mempunyai hubungan istimewa adalah harga pertukaran antara pihak yang
independen
(arm’s length price). Pihak yang mempunyai hubungan istimewa mungkin
mempunyai
suatu tingkat keluwesan dalam proses penentuan harga, yang tidak terdapat
dalam
transaksi antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Sedangkan
menurut
UU PPh, Dirjen Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung
besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan
wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi
oleh hubungan istimewa. Menurut arm’s length principle, harga-harga
transfer
seharusnya
ditetapkan supaya dapat mencerminkan harga yang disepakati sebagaimana
transaksi
tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak terkait yang bertindak secara
bebas.
Apabila terjadi transaksi antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa
maka
kondisi
dari transaksi antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka kondisi
dari
transaksi tersebut haruslah sama dengan transaksi antara pihak yang independen,
sehingga
ketidaksesuaian, dapat menyebabkan dilakukannya koreksi oleh pihak otoritas
fiskal.
Dalam
Pasal 18 ayat (3a) UU PPh dinyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak
berwenang
melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak
otoritas
pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang
mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang berlaku
selama
suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan
renegosiasi
setelah periode tertentu tersebut berakhir. Maksud dari pernyataan dalam
pasal
18 ayat (3a) ini mengenai kewenangan Dirjen Pajak untuk menentukan harga
transaksi
antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa berbicara tentang
kesepakatan
harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) yaitu kesepakatan antara
Wajib
Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang
dihasilkannya
kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties)
dengannya.
Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik
penyalahgunaan
transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara
Wajib
Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara
9
lain
harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung
pada
kesepakatan.
Keuntungan
dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan
penghitungan
pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan
keuntungan
produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama.
APA
dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal
Pajak
dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak
dengan
otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di
wilayah
yurisdiksinya.
Untuk
mencegah penghindaran pajak karena penentuan harga tidak wajar (non
arm's
length price), maka Dirjen Pajak menetapkan pedoman penentuan harga transfer
di
Indonesia
yang diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana
telah
diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2011. Aturan ini membahas
penerapan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principles) terkait
transaksi
antara wajib pajak dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Aturan ini
mengharuskan
wajib pajak untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam bertransaksi
dengan
pihak berelasi /related parties (Suryana, 2012). Pada Pasal 2 dinyatakan
bahwa
terdapat
2 pihak yang harus tunduk kepada ketentuan tersebut. Pertama, pedoman
transfer
pricing ini
berlaku untuk penentuan harga transfer atas transaksi yang dilakukan wajib
pajak
dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dengan wajib pajak luar
negeri
di luar Indonesia (Cross-border Transfer Pricing). Cross-border transfer
pricing
inilah
yang sebenarnya yang menjadi alasan utama mengapa perlu ada pedoman transfer
pricing.
Perbedaan tarif pajak Indonesia dengan negara lain dapat dimanfaatkan oleh
wajib
pajak
untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) dengan cara mengatur
harga
transfer
untuk memindahkan laba ke negara yang tarif pajaknya rendah. Kedua, pedoman
transfer
pricing bisa juga diterapkan untuk transaksi antara wajib pajak yang
berhubungan
istimewa
di Indonesia yang dapat memanfaatkan perbedaan tarif karena:
1.
2.
3.
Perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada
sektor
usaha tertentu;
Perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
Transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak
Kerja Sama Migas.
Menurut
pernyataan Suryana (2012), untuk mengurangi praktik transfer pricing
perlu
dikaji beberapa hal: Pertama mengaktifkan peran akuntan publik.
Ketentuan paragraf
9
huruf d Standar Professional Akuntan Publik (SPAP) No. 34 mengatur peranan
auditor
untuk
menguji kewajaran perhitungan jumlah related parties transaction yang
diungkapkan
dalam
laporan keuangan. Kedua, memperluas kriteria transfer pricing
tidak hanya related
parties,
tetapi melebar ke semua transaksi yang diindikasikan di bawah harga pasar
wajar,
termasuk
dengan perusahaan non afiliasi. Ketiga, menggunakan data pembanding
eksternal
dari
pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor) untuk mendeteksi aliran dana dan
underlying
transaksi
ekspor. Dalam Peraturan Bank Indonesia No.13/20/PBI/2011, seluruh penerimaan
DHE
harus melalui Bank Devisa, dimana eksportir wajib menyampaikan informasi
tentang
DHE
meliputi informasi tanggal PEB, kode kantor Bea Cukai, nomor pendaftaran PEB,
dan
NPWP
eksportir. Keempat, mengumumkan ke publik tentang proses banding oleh
wajib
pajak
yang melakukan transfer pricing, sebagai bentuk tekanan moral. Perlu
dicermati,
pada
pasal 50 ayat (1) UU No.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, disebutkan
bahwa
pengadilan
pajak terbuka bagi publik. Dengan Pemerintah mengumumkan jalannya
peradilan
pajak, akan membuka mata publik bahwa perusahaan-perusahaan terkenal
tersebut
ternyata melakukan kecurangan untuk menghindari pajak. Kelima, perlu ada
data
10
center,
seperti Indonesian Coal Index, yang meng-update harga terbaru
komoditas
tambang.
Harga terbaru komoditas diperlukan untuk assesment kewajaran omset
penjualan
pada
SPT tahunan perusahaan pertambangan. Keenam, pembentukan single
document
window
(SDW) antar negara yang telah menerapkan tax treaty, dan forum
multilateral,
seperti
APEC. Model SDW efektif untuk mengawasi harga pengiriman barang antar negara
produsen
dan konsumen. Dengan model SDW, penerbitan invoice oleh perusahaan
perantara
abal-abal di tax haven country akan terkena pajak, sehingga modus
transfer
pricing
tidak efisien untuk perusahaan tersebut.
Simpulan
dan Saran
Transfer
Pricing didefinisikan sebagai harga yang ditentukan oleh satu bagian dari
sebuah
organisasi
atas penyerahan barang atau jasa yang dilakukannya kepada bagian lain dari
organisasi
yang sama. Transfer pricing dapat juga diartikan sebagai nilai atau
harga jual
khusus
yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi
penjual
(selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division).
Dilihat dari aspek
perpajakan,
pengertian transfer pricing adalah harga yang dibebankan oleh suatu
perusahaan
atas barang, jasa, harta tak berwujud kepada perusahaan yang mempunyai
hubungan
istimewa.
Tujuan
penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di
antara
departemen-departemen atau divisi-divisi perusahaan pada waktu mereka saling
menggunakan
barang dan jasa satu sama lain. Selain itu transfer pricing terkadang
digunakan
untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan
divisi
pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara
keseluruhan.
Namun dalam praktik, seringkali ditemukan transaksi antar anggota
perusahaan
multinasional yang tidak luput dari rekayasa transfer pricing. Bagi
perusahaan
berskala
global (multinational corporations), transfer pricing dipercaya
menjadi salah satu
strategi
yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber daya
yang
terbatas. Perusahaan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya (cost
efficiency)
termasuk
di dalamnya minimalisasi pembayaran pajak perusahaan (corporate income tax).
Hal
ini telah mendorong dilakukannya praktik transfer pricing untuk
menghindari pajak
(tax
avoidance). Transfer pricing diyakini mengakibatkan
berkurang atau hilangnya potensi
penerimaan
pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser
kewajiban
perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high
tax
countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax
countries).
Untuk
mencegah praktik penghindaran pajak karena penentuan harga tidak wajar
(non
arm's length price), maka Dirjen Pajak menetapkan pedoman penentuan harga
transfer
yang
membahas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length
principles)
terkait transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang memiliki hubungan
istimewa.
Aturan ini mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan nilai pasar wajar
dalam
bertransaksi dengan pihak berelasi (related parties). Dirjen Pajak
memiliki
kewenangan
untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan
istimewa (Advance Pricing Agreement/APA) yaitu kesepakatan antara Wajib
Pajak
dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya
kepada
pihak-pihak yang mempunyai hubungan berelasi (related parties). Dengan
ditetapkannya
APA, diharapkan dapat mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan
transfer
pricing oleh perusahaan multinasional.
11
Beberapa
hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi praktik transfer pricing
(Suryana,
2012) antara lain dengan mengaktifkan peran akuntan publik untuk menguji
kewajaran
perhitungan jumlah related parties transaction yang diungkapkan dalam
laporan
keuangan,
memperluas kriteria transfer pricing tidak hanya related parties,
tetapi melebar
ke
semua transaksi yang diindikasikan di bawah harga pasar wajar, termasuk dengan
perusahaan
non afiliasi, menggunakan data pembanding eksternal dari pelaporan DHE
(Devisa
Hasil Ekspor) untuk mendeteksi aliran dana dan underlying transaksi
ekspor,
mengumumkan
ke publik tentang proses banding oleh wajib pajak yang melakukan transfer
pricing,
sebagai bentuk tekanan moral, menyediakan data center, seperti
Indonesian Coal
Index,
serta membentuk single document window (SDW) antar negara yang telah
menerapkan
tax treaty, dan forum multilateral, seperti APEC.
Daftar
Pustaka
Adoe, Andreas (2011).
Revisi peraturan Transfer
Pricing di Indonesia di tahun 2011.
http://taxationindonesia.blogspot.com/2011/11/revisi-peraturan-transfer-pricing-
di.html
Edward
J. Schnee and Joe Land. (2000). Tax Matters. Journal of Accountancy, January
2000:
page 81-90
Hansen
and Mowen (2007). Management Accounting, Cincinnati, Ohio: Western
College
Publishing
Harimurti,
Fadjar. (2007). Aspek Perpajakan Dalam Transfer Pricing. Jurnal Ekonomi dan
Kewirausahaan
Vol. 54 7, No. 1, April 2007: hal 53-61.
Horngren,
Datar dan Foster. (2008). Akuntansi Biaya, Penekanan Manajerial. Jilid 2
ed 12.
Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Garrison,
Noreen and Brewer (2007). Akuntansi Manajerial. Penerbit Salemba Empat
Gunadi.
(1994). Transfer Pricing: Suatu Tinjauan Akuntansi Manajemen dan Pajak.
Bena
Rena
Pariwara, Jakarta.
Gunadi.
(2007). Pajak Internasional. Jakarta : LPFEUI.
Gusnardi.
(2009). Penetapan Harga Transfer Dalam Kajian Perpajakan. Jurnal Pekbis,
Vol.1,
No. 1, Maret 2009: hal 36-43.
Bernard,
J.T and Weiner, R.J. (1990). Multinational Corporations, Transfer Price and
Taxes:
Evidence from the U.S. Petroleum Industry. Journal in Taxation in the
Global
Economy, page. 123-154. University of Chicago Press.
Juan,
Ng Eng dan Wahyuni, Ersa Tri (2012). Panduan Praktis Standar Akuntansi
Keuangan-Berbasis
IFRS. Edisi 2. Penerbit Salemba Empat
12
Moewen,
Hansen Don R., Maryane M. (2005). Management Accounting. 7th edition.
South-Western
of Thomson Learning.
Mangoting,
Yenni. (2000). Aspek Perpajakan Dalam Praktik Transfer Pricing. Jurnal
Akuntansi
dan Keuangan. Vol. 2 No. 1, Mei 2000: hal 69-82.
http://puslit.
petra.ac.id/
journals/accounting2000
OECD
Committee on Fiscal Affairs. (1979). Transfer Pricing and Multinational
Enterprises.
Paris: OECD.
Salam,
Abd. (2011). Aspek Perpajakan Dalam Praktik Transfer Pricing. Jurnal Ekonomi
Balance
Fekon Unismuh Makassar. http://fekonunismuh.files.wordpress.com/2011/
01/04-salam.pdf
Santosa,
Iman. (2004). Advance Pricing Agreement dan Problematika Transfer
Pricing
Dari
Perspektif Perpajakan Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 6 No.
2,
Nopember 2004: hal 123-139.
Septarini,
Nina (2007). Regulasi dan Praktik Transfer Pricing di Indonesia dan
Negara
Maju.
Universitas Negeri Surabaya
Simamora,
Henry (1999). Akuntansi Manajemen. Jakarta: Salemba Empat
Pajak.go.id/node/4049?lang=en,
15 Agustus 2012.
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-32/PJ/2011 tentang tentang Penerapan
Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak
Dengan
Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa (Related Party).
Kementerian
Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak. (2011). Susunan
Dalam
Satu Naskah Undang-Undang Perpajakan. Direktorat Penyuluhan
Pelayanan
dan
Humas.
Undang-Undang
Nomor 36 tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan
Wahyudi,
Dudi (2005). Upaya Menangkal Praktik Penghindaran Pajak. http://dudi
wahyudi.com/pajak/pajak-penghasilan/metode-penentuan-harga-transfer-transfer-
pricing.html
Waluyo.
(2011). Perpajakan Indonesia. Edisi 10. Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
php?page=showartikel&id=11
Widyastuti,
Indriyana (2011). Aspek Perpajakan Dalam Praktik Transfer Pricing. Jurnal
Ekonomi
Bisnis&Perbankan, Vol 19 No. 15, Maret 2011
13
_________
(2012). Transfer Pricing. http://www.jtanzilco.com/main/index.php/
component/
content/article/1-kap-news/437-menelaahresikopositifdaritransferpricing.
blogspot.com/2012/03/konsep-transfer-pricing-dan-metodenya.html
__________
(2012). Menelaah Resiko Positif dan Negatif dari Transfer Pricing.
http://www.jtanzilco.com/main/index.php/component/content/article/1-kap-
news/437-menelaahresikopositifnegatifdaritransferpricing
14
0 comments:
Post a Comment