WINBIE GENESIS: VALUTA ASING winbie genesis

Pages

Monday, April 27, 2015

VALUTA ASING



VALUTA ASING
A. Pengertian Valuta Asing (Valas)
Valuta asing dalam istilah bahasa Inggris dikenal dengan money changer atau foreign exchange, sedangkan dalam istilah Arab disebut al-sharf. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa al-sharf berarti menjual uang dengan uang lainnya. Al-Sharf yang secara harfiyah berarti penambahan, penukaran, penghindaran, atau transaksi jual beli. Dengan demikian al-Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Valas atau al-sharf secara bebas diartikan sebagai mata uang yang dikeluarkan dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain. [1]
Muhammad al-Adnani mendefinisikan al-sharf dengan tukar menu
kar uang. Taqiyyudin an-Nabhani mendefinisikan al-sharf dengan pemerolehan harta dengan harta lain, dalam bentuk emas dan perak, yang sejenis dengan saling menyamakan antara emas yang satu dengan emas yang lain, atau antara perak yang satu dengan perak yang lain atau berbeda jenisnya semisal emas dengan perak, dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan jenis yang lain. Beliau juga menyatakan bahwa jual beli mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang menurutnya mencakup beberapa hal sebagai berikut:[2]
1.            Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang kertas dinar baru Irak dengan dinar lama.
2.            Pertukaran mata uang dengan mata uang asing seperti pertukaran dolar dengan pound Mesir
3.            Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan.
4.            Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dolar Amerika dengan dolar Australia.
5.            Penjulan promis (surat perjanjian untuk membeayar sejumlah uang) dengan mata uang tertentu.
6.            Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu.
Masing-masing dari ke-enam bentuk kegiatan di atas dapat diklasifikasi menjadi dua macam kegiatan, yaitu jual beli dan pertukaran. Sehingga untuk masing-masing kegiatan tersebut dapat diberlakukan hukum jual beli dan pertukaran. Penjualan mata uang dengan mata uang yang serupa atau penjualan mata uang dengan mata uang asing dalam Islam inilah yang kemudian disebut sebagai al-sharf.
Apa yang diperdagangkan dalam penjualan valuta asing? Jawabannya tentu saja uang, mata uang diperdagangkan secara berpasangan melalui broker atau dealer. Valas bersifat interbank karena waktu perdagangannya yang secara kontinyu mengikuti waktu perdagangan masing-masing negara dan bisa diasumsikan bahwa pasar valas buka 24 jam.
Kemudian siapa saja yang dikatakan sebagai pelaku atau subjek dari kegiatan valuta asing?. Ada beberapa golongan yang aktif melakukan transaksi jual beli valas, yang dapat digolongkan kepada 7 golongan berikut contohnya, yaitu:[3]
1.      Perusahaan. Perusahaan menggunakan pasar valuta asing untuk mempermudah pelaksanaan transfer investasi atau komersil. Kelompok ini terdiri dari para importir, investor internasional dan perusahan-perusahaan multinasional. Mereka menggunakan pasar valuta asing untuk tujuan investasi.
2.      Masyarakat atau Perorangan. Masyarakat dan perorangan dapat melakukan transaksi valas untuk memenuhi kebutuhannya. Contohnya yaitu, Ayah mengirimkan uang untuk anaknya yang sedang sekolah di Amerika, maka terlebih dahulu Ayah harus membeli dolar atau menukar rupiah dengan dolar Amerika.
3.      Bank Umum dan Non Bank. Bank Umum dan non bank beroperasi di kedua pasar antar bank dan nasabah. Mereka melayani nasabah yang ingin bertransaksi valas. Mereka ini memperoleh keuntungan dengan membeli valuta asing pada harga permintaan (bid) dan menjualnya kembali pada harga yang sedikit lebih tinggi dari pada harga penawaran (offer).
4.      Broker atau Perantara. Broker atau perantara adalah orang atau persahaan yang tugasnya adalah menjadi perantara aktifitas transaksi valas.
5.      Pemerintah. Pemerintah melakukan valas untuk berbagai tujuan antara lain membayar cicilan hutang ke luar negeri, penerimaan hutang dari luar negeri yang harus ditukar ke valuta sendiri.

6.      Bank Sentral. Di banyak negara, Bank sentral tidak berada di bawah kendali pemerintah, dia merupakan lembaga independen yang bertugas menstabilkan perekonomian. Bank-bank sentral menggunakan pasar valas ini untuk memperoleh cadangan devisa dan juga mempengaruhi harga di mana mata uangnya diperdagangkan. Bank sentral mungkin melakukan langkah-langkah yang semata-mata dimaksudkan untuk mendukung atau mendongkrak nilai mata uang sendiri. Kebijakan atau strategi seperti ini banyak dilakukan oleh bank-bank sentral.
7.      Spekulator dan arbitrase. Mereka ini melakukan transaksi dalam pasar valuta asing untuk memperoleh keuntungan. Arbitrase pada prinsipnya merupakan suatu bentuk spekulasi yang terdapat dalam valuta asing, di mana mereka membeli suatu valuta asing di suatu pusat keuangan kemudian menjualnya kembali di pusat keuangan lain untuk memperoleh keuntungan. Kegiatan arbitrase ini dimungkinkan mudah dan cepat dilakukan transfer dengan menggunakan alat telegrafik antara pusat keuangan satu dengan pusat keuangan dunia lainnya. Motif mereka ini berbeda dengan dealer, karena spekulator dan arbitrase beroperasi hanya untuk kepentingan mereka sediri tanpa suatu kebutuhan atau kewajiban untuk melayani klien atau untuk memastikan kontinuitas pasar. Sedangkan dealer mencari keuntungan dari spread antara permintaan dan penawaran dan hanya secara insedentil mencari keuntungan dari perubahan-perubahan harga. Sementara spekulator mencari seluruh keuntungan dari perubahan-perubahan harga secara simultan. Spekulasi dan arbitrase dalam jumlah besar biasanya dilakukan oleh trader. Bank-bank dalam hal ini dapat bertindak sebagai dealer, spekulator dan arbitrase.




B. Jenis-Jenis Valuta Asing (Valas)
1. Transaksi Spot     
Transaksi spot adalah pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Misalnya kontrak jual beli suatu mata uang spot dilakukan atau ditutup pada tanggal 12 juni 2002, penyerahan dan penyelesaian kontrak tersebut dilakukan pada tanggal 14 juni 2002. Apabila tanggal 14 juni 2002 tersebut kebetulan hari libur atau hari sabtu, maka penyelesaiannya adalah pada hari kerja berikutnya. Tanggal penyelesaian transaksi seperti ini disebut value date. Penyerahan dana dalam transaksi spot pada dasarnya dapat dilakukan dalam beberapa cara berikut ini:
a) Value today, yaitu penyerahan dana dilakukan pada tanggal (hari) yang sama dengan tanggal (hari) diadakannya transaksi (kontrak).
b) Value tomorrow, yaitu penyerahan dana dilakukan pada hari kerja berikutnya atau hari keja setelah diadakannya kontrak.
c) Value spot, yaitu penyerahan dilakukan dua hari kerja setelah tanggal transaksi.
2. Transaksi Forward
Transaksi forward disebut juga dengan transaksi berjangka yang pada prinsipnya adalah transaksi sejumlah mata uang tertentu dengan sejumlah mata uang lainnya dengan penyerahan pada waktu yang akan datang. Kurs ditetapkan pada waktu kontrak dilakukan, tetapi pembayaran dan penyerahan baru dilakukan pada saat kontrak jatuh tempo. Transaksi forward ini biasanya sering digunakan untuk tujuan hedging dan spekulasi. Hedging atau pemagaran resiko yaitu transaksi yang dilakukan semata-mata untuk menghindari resiko kerugian akibat terjadinya perubahan kurs.
3. Transaksi Swap
Transaksi swap adalah transaksi pembelian dan penjualan bersamaan sejumlah tertentu mata uang dengan 2 tanggal valuta (penyerahan) yang berbeda. Pembelian dan penjualan mata uang tersebut dilakukan pada bank lain yang sama. Jenis transaksi swap yang umum adalah spot terhadap forward. Dealer membeli suatu mata uang dengan transaksi spot dan secara simultan menjual kembali jumlah yang sama kepada bank lain yang sama dengan kontrak forward. Karena itu dilakukan sebagai suatu transaksi tunggal dengan bank lain yang sama, dealer tidak akan menghadapi resiko valas yang tidak diperkirakan. Seperti dijelaskan di atas bahwa pada prinsipnya transaksi swap merupakan transaksi tukar pakai suatu mata uang untuk jangka waktu tertentu.
Transaksi swap berbeda dengan transaksi spot atau forward. Dalam mekanisme swap, terjadi dua transaksi sekaligus dalam waktu yang bersamaan yaitu menjual dan membeli atau menjual dan membeli suatu mata uang yang sama. Sementara pada spot dan forward, transaksi terjadi hanya sekali saja yaitu membeli dan menjual. Penggunaan transaksi swap sebanarnya dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan timbulnya kerugian yang disebabkan oleh perubahan kurs suatu mata uang. Swap dapat dilakukan antara nasabah dengan banknya dan antara bank dengan bank Indonesia (disebut reswap). Pemberian fasilitas reswap tersebut dilakukan atas dasar swap point yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.Transaksi swap antara bank dengan BI:
a.       Swap likuiditas, yaitu swap yang dilakukan atas inisiatif BI untuk dana yang berasal dari pinjaman luar negeri. Posisi likuiditas ini untuk setiap bank maksimum 20 % dari modal bank tersebut.
b.      Swap investasi, yaitu swap yang dilakukan atas inisiatif bank berdasarkan swap bank dengan nasabah yang dananya berasal dari pinjaman luar negeri untuk keperluan ivestasi di Indonesia.
Sebelum disebutkan jenis valuta asing selanjutnya, maka perlu diketahui dulu perbedaan dari ketiga jenis transaksi di atas, yaitu bahwa transaksi swap terjadi dua transaksi pada saat yang sama (double transaction), yaitu jual beli atau beli dan jual. Sedangkan pada spot dan forward hanya terjadi satu kali transaksin saja (one single transaction), yaitu jual saja beli saja.
4. Transaksi Option
Transaksi option yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu.
Dari beberapa macam jenis dari valuta asing di atas, tidak semua dipandang sesuai dengan syari’at Islam, dalam arti ada jenis yang dihukumi haram, dan ada pula yang hukumnya sah menurut Islam. Adapun hukum-hukumnya bisa dilihat dalam fatwa yang dikeluarkan fatwa Dewan Syari’ah yang dituliskan dalam pembahasan terakhir.
C. Jual Beli Valuta Asing Dalam Perspektif Fiqh
Secara normative hukum Islam, jual beli valuta asing yang dilakukan saat sekarang tidaklah berubah fungsi uang dalam Islam. Karena al-sharf yang dijadikan sebagai salah satu jasa perbankan tidaklah sama dengan perdagangan uang atau memperjual belikan uang yang dalam banyak hal telah merugikan masyarakat banyak, terutama dalam kasus Indonesia.
Perbedaan antara al-sharf dengan perdagangan uang atau jual beli uang, terletak pada hukum yang diterapkan pada al-sharf. Walaupun al-sharf itu merupakan salah satu variasi dari jual beli, akan tetapi ia tidak dihukumi dengan konsep jual beli secara umum, karena dalam konsep jual beli boleh untuk di tangguhkan. Sedangkan dalam variasi jual beli uang dengan uang memakai hukum khusus yang tidak terdapat dalam bai’ mutlak (jual beli barang dengan uang) dan bai’ muqayyadah (jual beli barang dengan barang) yaitu dalam hal time settlement-nya. Artinya dalam aqad al-Sharf ini harus dilakukan secara tunai (tidak boleh ditangguhkan).[4]
Sebagaimana diketahui, bahwa jual beli itu bisa berupa ayn (goods dan service) yang berarti barang dan jasa, atau juga berupa dayn (financial obligation). Objek jual beli yang berupa dayn dengan dayn, hukumnya adalah tidak sah karena hal tersebut telah menjadikan dayn sebagai ayn. Akan tetapi ketika kedua bentuk dayn itu adalah berupa mata uang, maka ia adalah al-sharf yang hukumnya boleh (mubah) dengan syarat kedua mata uang tersebut harus diserahkan secara langsung (tunai) sebelum para pihak berpisah. Sehingga akad al-sharf ini bisa disebut sebagai pengecualian dari aqad lain yang obyeknya berupa dayn.
Tujuan dari keharusan tunai dalam aqad al-sharf ini adalah untuk menghindari adanya gharar yang terdapat dalam riba fadl. Gharar dalam aqad al-sharf ini akan lenyap karena time of settlement-nya dilaksanakan secara tunai. Sedangkan dalam aqad yang obyeknya berupa barang, maka selain masa penyerahannya yang harus tunai, juga harus sama dalam hal kualitas dan kuantitasnya. Justru merupakan satu hal yang tepat, ketika Ibn Taimiyah mensyaratkan harus dilakukan secara simultan (taqabud) dalam transaksi perdagangan uang.
Sebagai salah satu variasi jual beli, al-sharf juga tentu saja harus memenuhi persyaratan sebagaimana halnya variasi jual beli yang lain seperti bai’ mutlak dan muqayyadah. Karena agar jual beli itu terbentuk dan sah diperlukan sejumlah syarat, yaitu syarat adanya aqad jual beli dan syarat sahnya jual beli. Sehingga aqad jual beli itu tidak saja ada dan terbentuk, akan tetapi juga sah secara hukum. Dengan demikian hukum tentang al-sharf yang biasa diartikan dengan jual beli valuta asing tidak diragukan lagi kebolehannya dari sudut fiqh Islam.
D. Dasar Hukum Valuta Asing (Valas)
Seperti yang telah diterangkan dalam pendahuluan bahwa setelah beberapa jenis mata uang telah dibuat, maka mata uang kertas wajib menggantikan fungsi emas dan perak, yang mana emas dan perak inilah yang dulu dipakai sebagai alat tukar. Dengan demikian mata uang kertas menjadi satu-satunya satuan hitung dan sarana perantara dalam tukar menukar. Mata uang kertas menjadi nilai harga sebagaimana halnya emas dan perak. Oleh sebab itu hukum tukar menukar mata uang kertas tunduk kepada peraturan al-sharf sebagaimana halnya emas dan perak.
Praktek al-sharf hanya terjadi dalam transaksi jual beli, di mana praktek ini diperbolehkan dalam Islam berdasarkan firman Allah QS. al-Baqarah ayat 275:
”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Kemudian dalam hadis Rasulullah juga disebutkan bahwa:
لا تبيعوا الذهب بالذهب الا سواء بسواء, والفضة بالفضة, الا سواء بسواء, و بيعوا الذهب بالفضة والفضة بالذهب كيف شئتم (رواه بخاري)
“Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kalian.” (HR. Bukhari).

”Nabi melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali seimbang. Dan Nabi memerintahkan untuk menjual emas dengann perak sesuka kami, dan menjual perak dengan emas sesuka kami”.  “Kami telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau menjawab, Harus tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku dengar.” (HR. Abu Hurairah)
Dari beberapa Hadis di atas dipahami bahwa dalil tentang diperbolehkannya al-sharf serta tidak boleh adanya penambahan antara suatu barang yang sejenis (emas dengan emas atau perak dengan perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis tersebut merupakan riba fadl yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadis ketiga, selain bisa dijadikan dasar diperbolehkannya al-sharf, juga mengisyaratkan bahwa kegiatan jual beli tersebut harus dalam bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya riba nasi’ah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jual beli mata uang (valuta asing) dibatasi oleh beberapa syarat, dan syarat-syarat itu telah disebutkan oleh para ulama dalam penukaran emas dan perak yang mana berlaku juga dalam penukaran mata uang yang ada pada zaman setelahnya.[5]




E. Syarat-Syarat Dan Batasan-Batasan Valuta Asing (Valas)
a.      Serah terima sebelum iftirak (Berpisah)
Maksudnya yaitu transaksi tukar menukar dilakukan sebelum kedua belah pihak berpisah. Hal ini berlaku pada penukaran mata uang yang berjenis sama maupun yang berbeda, oleh karena itu kedua belah pihak harus melakukan serah terima sebelum keduanya berpisah meninggalkan tempat transaksi dan tidak boleh menunda pembayaran salah satu antara keduanya. Apabila persyaratan ini tidak dipenuhi, maka jelas hukumnya tidak sah.
Hal ini sesuai dengan dalil yang bersumber dari hadis nabi seperti yang telah disebutkan terakhir di atas yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Begitu pula dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’ad al-Khudhri, bahwasannya Rasulullah bersabda: ”janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali sama rata, dan janganlah melebihkan salah satu diantara keduanya. Dan janganlah kalian menjual perak dengan perak, kecuali sama rata, dan janganlah kalian melebihkan salah satu antara keduanya. Namun terdapat beberapa interpretasi yang berbeda di kalangan ulama mengenai istilah iftirak, yaitu:
· Jumhur ulama seperti ulama Hanafi, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa yang dimaksud iftirak adalah apabila kedua belah pihak telah meninggalkan tempat transaksi. Apabila kedua belah pihak belum beranjak dari tempat maka tidak dikatakan iftirak meski dalam waktu yang lama. Pengertian ini didasari kepada Umar bin Khatab ketika meriwayatkan sebuah hadis, lalu beliau berkata kepada thalhah: ”demi Tuhan, jangna kamu tinggalkan orang itu sebelum menerima sesuatu darinya.” dalil ini menunjukkan bahwa yang dijadikan standar iftirak adalah pisah badan.
· Ulama Maliki berpendapat bahwa iftirak badan bukan merupakan ukuran sah atau tidaknya suatu transaksi. Yang jadi ukuran yaitu serah terima harus dilakukan ketika pengucapan ijab dan kabul berlangsung. Maksudnya, jika serah terima dilakukan setelah ijab kabul, maka transaksi tersebut dianggap tidak sah, sekalipun kedua belah pihak belum berpisah badan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.: ” emas dengan emas adalah riba, kecuali ha wa ha (ucapan ambil dan bayar).” hal ini menunjukkan bahwa serah terima harus dilakukan seketika bersamaan dengan ijab kabul.

b.        Al-Tamatsul (Sama Rata)
Pertukaran uang yang nilainya tidak sama rata maka hukumnya haram, syarat ini berlaku pada pertukaran uang yang satu atau sama jenis. Sedangkan pertukaran uang yang jenisnya berbeda, maka dibolehkan al-tafadhul. Misalnya yaitu menukar mata uang dolar Amerika dengan dolar Amerika, maka nilainya harus sama. Namun apabila menukar mata uang dolar Amerika dengan rupiah, maka tidak disyaratkan al-tamatsul. hal ini praktis diperbolehkan mengingat nilai tukar mata uang dimasing-masing negara di dunia ini berbeda. Dan apabila diteliti, hanya ada beberapa mata uang tertentu yang populer dan menjadi mata uang penggerak di perekonomian dunia, dan tentunya masing-masing nilai mata uang itu sangat tinggi nilainya.
c.       Pembayaran Dengan Tunai
Tidak sah hukumnya apabila di dalam transaksi pertukaran uang terdapat penundaan pembayaran, baik penundaan tersebut berasal dari satu pihak atau disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat ini terlepas dari apakah pertukaran itu antara mata uang yang sejenis maupun mata uang yang berbeda.
d.      Tidak Mengandung Akad Khiyar Syarat
Apabila terdapat khiyar syarat pada akad al-sharf baik syarat tersebut dari sebelah pihak maupun dari kedua belah pihak, maka menurut jumhur ulama hukumnya tidak sah. Sebab salah satu syarat sah transaksi adalah serah terima, sementara khiyar syarat menjadi kendala untuk kepemilikan sempurna. Hal ini tentunya dapat mengurangi makna kesempurnaan serah terima. Menurut ulama Hambali, al-sharf dianggap tetap sah, sedangkan khiyar syaratnya menjadi sia-sia.
Selain beberapa syarat di atas, disebutkan pula batasan-batasan pelaksanaan valuta asing yang juga didasarkan dari hadis-hadis yang dijadikan dasar bolehnya jual beli valuta asing. Batasan-batasan tersebut adalah:
1.            Motif pertukaran adalah rangka mendukung transaksi komersil, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa, bukan dalam rangka spekulasi.
2.            Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
3.            Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai, atau dengan kata lain tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (bai’ ainiah).
Dalam hal perdagangan mata uang asing ini, Imam al-Subki sebagaimana dikutip Sura’i mengatakan bahwa pendapat yang populer pada mazhab Syafi’I adalah boleh hukumnya melakukan transaksi dengan mata uang dirham yang tengah berlaku walaupun ditukar dengan dirham biasa, sedangkan dirham sebagai mata uang negara yang mempunyai cap, maka transaksi semacam ini dibolehkan. Kemudian ia berkata berlakunya transaksi dengan mempertukarkan mata uang yang tidak sejenis tidaklah ada halangannya, asalkan secara tunai, Namun demikian apakah diperbolehkan mempertukarkan mata uang yang sama namanya tetapi berbeda negara yang memilikinya seperti dinar Marokko dengan dinar Maghribi. Dalam hal ini Imam al-Subki tidak menemukan adanya riwayat yang melarang tetapi pendapat yang terkuat adalah membolehkannya.
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa tukar menukar uang yang satu dengan uang yang lain diperbolehkan. Begitu pula memperdagangkan mata uang asalkan nama dan mata uangnya berlainan atau nilainya saja yang berlainan, namun harus dilakukan secara tunai.
Dalam hal memperjualbelikan mata valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai, Yusuf al-Qardhawi mengatakan tidak diperbolehkan. Oleh karena itu tidak sah jual beli uang dengan sistem penangguhan, bahkan harus dilakukan secara tunai ketika di tempat transaksi. Hanya saja yang menjadi kriteria tunainya sesuatu itu menurut ukurannya sendiri-diri. Dalam hal ni menurut Yusuf al-Qardhawi syara’ telah menyerahkan ukuran tersebut kepada adat kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat. Walaupun demikian, realita tunai ini juga mengikuti hukum darurat yang diukur sesuai dengan ukurannya. Justru itu umat Islam tidak diperkenankan untuk menjual apa yang dibelinya kecuali setelah diterimanya terlebih dahulu barang itu menurut adat kebiasaan yang berlaku.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli hukum Islam di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pada dasarnya mereka sepakat tentang bolehnya memperjual belikan valuta asing dari jenis mata uang apapun dan dari negara manapun. Tetapi juga mereka sepakat bahwa transaksi valuta asing harus dilakukan secara tunai dan bertangguh. Hal ini didasarkan pada ketentuan syari’ah seperti yang dijelaskan oleh hadis hadis Nabi di atas.
Ada hal penting yang tersirat dari hadis hadis Nabi maupun penafsiran para ahli hukum Islam tentang perdagangan valuta asing ini, yaitu bertujuan agar tidak ada pihak-pihak yang di rugikan dan dizalimi, dan tidak mendatangkan mudharat bagi masyarakat banyak. Persoalan yang merupakan masalah yang berkaitan dengan hajat orang banyak terhadap kebutuhan ekonomi. Oleh sebab itu, dapat dimengerti mafhum mukhalafah dari hikmah yang terkandung dari ketentuan di atas. Di satu sisi pertukaran dan perdagangan valuta asing merupakan suatu kebutuhan untuk perdagangan internasional dan kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan negara lain. Akan tetapi di sisi lain, harus dapat pula menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang syari’ah dan perilaku yang mendatangkan kemudharatan.
Sesuai dengan maqashid syari’ah yang salah satu prinsipnya mengenai aspek hajjiyah dalam pengertian segala yang menyulitkan dan menjadi beban bagi kehidupan harus dihindari, maka sesungguhnya elastisitas hukum Islam mengenai perdagangan valuta asing dapat dilihat dari sisi lain. Pada kasus perdagangan valuta asing saat sekarang, yang notabene tidak secara tunai dan tidak simultan penyerahan dana ketika transaksi disepakati, merupakan fenomena yang tidak sesuai dengan ketentuan syari’ah. Ada baiknya ketentuan harus tunai dan simultan itu untuk ditinjau kembali secara mendalam, karena perkembangan dunia modern saat ini dengan kemajuan teknologi yang sudah sedemikian pesatnya, yang seandainya ketentuan tersebut tidak memiliki sifat elastisitas sesuai dengan perubahan waktu, tempat, situasi dan kondisi, maka justru akan mendatangkankesulitan, sedangkan nafyul haraj dalam istilah ushul fiqh merupakan suatu keniscayaan.[6]
Persoalan perdagangan valuta asing telah menjadi sangat populer, umum dan hampir dilakukan serta diterima sebagai suatu transaksi yang dipraktekkan di seluruh dunia. Tidak ada sistem ekonomi suatu negara mengalami kemajuan tanpa behubungan dengan perdagangan valuta asing. Oleh sebab itu selayaknya perdagangan valuta asing diterima dan diadopsi sebagai suatu kebutuhan di bidang akonomi dan bermanfaat serta sulit sekali dipisahkan dari dunia modern.
Afzalur Rahman mengutip pendapat Imam Hanafi, bahwa jika suatu bisnis secara umum diterima dan dilakukan oleh orang banyak, maka bisnis tersebut menjadi halal, karena merupakan kebutuhan. Akan tetapi jika perdagangan valuta asing tersebut dilakukan dengan tujuan untuk spekulasi, dan merusak sistem prekonomian suatu negara, maka hal inilah yang sangat bertentangan dengan tujuan syari’ah. Solusi yang terbaik untuk hal itu adalah mengadopsi dan menyesuaikan sistem perdagangan valuta asing yang ada dengan prinsip-prinsip yuridis syar’i (hukum Islam), dan penulis sepakat dengan pendapat Yusuf al- Qardhawi dan Imam Malik batasan tunai dan tangguh diserahkan kepada adat kebiasaan masyarakat sesuai dengan kaedah ushul fiqh al adatu muhakamah.

























BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Valuta Asing (Valas) dalam istilah bahasa Arab adalah al-Sharf yang secara harfiyah berarti penambahan, penukaran, penghindaran, atau transaksi jual beli. Dengan demikian al-Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Adapun jenis-jenis valuta asing ada 4 macam, yaitu:
a)      Transaction Spot (transaksi spot), yaitu jual beli mata uang dengan penyerahan dan pembayaran antar-bank yang akan diselesaikan pada dua hari kerja berikutnya.
b)      Forward transaction (Trasaksi berjangka). Transaksi ini disebut juga dengan transaksi berjangka yang pada prinsipnya adalah transaksi sejumlah mata uang tertentu dengan sejumlah mata uang lainnya dengan penyerahan pada waktu yang akan datang.
c)      Swap trasaction (Transaksi swap), yaitu transaksi pembelian dan penjualan bersamaan sejumlah tertentu mata uang dengan 2 tanggal valuta (penyerahan) yang berbeda. Pembelian dan penjualan mata uang tersebut dilakukan pada bank lain yang sama.
d)      Transaksi option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu.
Dalam perspektif ulama fiqh transaksi valas harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: Serah Terima Sebelum al-iftirak, al-Tamatsul (Sama rata), tidak terdapat akad tersebut Khiyar al-Syart, harus di bayar dengan tunai. Dasar hukum al-Sarf dalam Islam terdapat dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 275, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan hadits-hadits yang lain, serta fatwa Dewan Syari’ah Nasional dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Rapat Pleno di Jakarta pada hari Kamis, 14 Muharam 1423 H/28 Maret 2002 dengan Surat dari Pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI No. UUS/2/878.




DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islami. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Ad-Duwaisy, Ahmad bin ‘Abdurrazzaq. 2005. Fatwa-fatwa jual Beli. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Susanto, Ivan. 2007. Forex trading. Yogyakarta: Andi Offset.

Berlianta, Heli Charisma. 2005. Mengenal valuta asing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Al-Bukhari, ‘Abd Allah Muhammad ibn Ismail. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.

an-Nabhani, Taqyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspefektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti

Sjahdiyni, Sutan Remy. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Sutan Remy Sjahdiyni, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999) 87.

Heli charisma berlianta, Mengenal valuta asing (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), 4-5.

 ‘Abd. Allah Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 153.

Asmuni M. Thaher, http://msi-uii.net/baca.asp, diakses pada tanggal 04 Maret 2011.

Ahmad bin ‘Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Fatwa-fatwa jual Beli (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2005)









0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com