WINBIE GENESIS: PPH PASAL 22 DAN PENJELASANNYA winbie genesis

Pages

Wednesday, November 21, 2012

PPH PASAL 22 DAN PENJELASANNYA




Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
  1. Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
  2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
  3. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
  1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;
  2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah yang melakukan pembayaran, atas pembelian barang;
  3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada angka 4;
  4. Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari non APBN;
  5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
  6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
  7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
  8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Tarif PPh Pasal 22
  1. Atas impor :
    1. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;
    2. yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
    3. yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
  2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN dan tidak final.
  3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
    1. Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
    2. Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
    3. Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
    4. Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
  4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
    Catatan:
    Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final
  5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) ditetapkan sebesar 2,5 % dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
  6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor.
  7. Atas Penjualan
    1. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,00
    2. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00
    3. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
    4. Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
    5. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.
  8. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22
Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
  1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
  2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
  3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
  4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
  5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
  6. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
  7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
  8. Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
  1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
  2. Atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4 ) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
  3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
  4. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
  5. Atas pembelian bahan-bahan (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
  1. PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 1) disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
  2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
  3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu :
    1. lembar pertama untuk pembeli;
    2. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
    3. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
  4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
  5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 4 ) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
  6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
  7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
    1. lembar pertama untuk pembeli;
    2. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
    3. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja


Importir PT.Importindo (tidak memiliki API) tgl 4 April 2009 mengimpor 400 unit computer dari jepang. Sesuai dokumen impor nilai pembelian US $ 40.000, biaya angkut US$ 5.000, asuransi US $ 2.000, tarif bea masuk 20%. PPN impor 10% serta PPn BM 20%. Kurs RP 10.000/ US$. Tentukan PPh Pasal 22 !

Harga Faktur (cost) 40.000 US$
Asuransi (insurance) 2.000
Pengapalan (Freight ) 5.000
Harga Pabean (CIF) 47.000
Bea masuk 20% x 47.000 9.400
Nilai Impor 56.400

NILAI IMPOR 564.000.000

PPh pasal 22 (7,5% x 564.000.000) = 42.300.000


Table tarif PPh pasal 22 Per 1 Januari 2009 :
No
Jenis Kegiatan
Tariff bagi WP ber-NPWP (*)
Sifat
1
Impor Barang :



- Importir – API
2,5% dari nilai Impor
Tidak Final

- Importir – non API
7,5% dari nilai Impor

- Yang tidak dikuasai (Barang Impor yang dilelang DJBC
7,5% dari harga jual lelang



2
Pembayaran atas pembelian barang oleh pemungut PPh 22
1,5% dari harga pembelian
Tidak Final
3
Penjualan barang produksi :



- Industri Semen
0,25% dari DPP PPN
Tidak Final

- Industri Kertas
0,10% dari DPP PPN

- Industri Baja
0,30% dari DPP PPN

- Industri Otomotif
0,45% dari DPP PPN
4
Penjualan barang produksi oleh produsen/importir BBM, Gas dan pelumas atas penjualan BBM, Gas dan Pelumas
SPBU
Swasta
SPBU Pertamina


- Premium
0,3%
0,25%
Penyerahan kepada Agen bersifat final

- Solar
0,3%
0,25%

- Permix/Super TT
0,3%
0,25%

- Minyak Tanah
-
0,3%

- Gas LPG
-
0,3%

- Pelumas
-
0,3%
5
Pembelian bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul
0,5% dari harga beli sebelum PPN
Mulai Maret 2009 : 0,25% dari harga beli sebelum PPN
Tidak Final
6
Penjualan barang yang tergolong sangat mewah **)
5% dari harga jual tidak termasuk PPN
Tidak Final
(*) bagi WP yang tidak ber-NPWP akan dipungut PPh dengan tariff 2x lipat (lebih tinggi 100%)
Pemungut PPh Pasal 22 :
  1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
  2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat Pusat ataupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
  3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan/atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada angka 4;
  4. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN;
  5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
  6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
  7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
  8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Pengecualian PPh Pasal 22 :
a. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak PenghasiIan;
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai;
1) barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan atas timbal balik;
2) barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia;
3) barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan;
4) barang urituk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
5) barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
6) barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
7) peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8 ) barang pindahan;
9) barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pabean;
10) barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;
11) persenjataan, amunisi, dan pelengkapan militer termasuk Suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12) barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
13) vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imuniasi Nasional (PIN);
14) buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
15) kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional;
16) pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
17) kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia;
18 ) peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia.
c. Dalam hal impor sementara Jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali;
d. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
e. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos;
f. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor;
g. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara;
h. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
**) Barang yang tergolong sangat mewah  adalah:
  1. pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah);
  2. kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah);
  3. rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500 m2 (lima ratus meter persegi);
  4. apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2 (empat ratur meter persegi)
  5. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle  (SUV), multi purpose vehicle (MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000
PPh Pasal 22 adalah salah satu jenis PPh yang pengenaannya agak menyimpang dari ketentuan umum PPh itu sendiri.  Jika secara umum objek PPh berupa income atau pendapatan, objek PPh Pasal 22 justru menjadikan expenditure atau biaya/pengeluaran sebagai objeknya. Terutama jika dilihat dari sisi pihak yang dikenakan pemungutan PPh Pasal 22.
Payung hukum pengenaan PPh Pasal 22 adalah klausul Pasal 22 UU PPh.  Dalam pasal ini ditegaskan bahwa Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk menetapkan pihak-pihak tertentu atau subjek tertentu untuk melakukan pemungutan PPh Pasal 22 terutama dalam kegiatan impor, kegiatan pembayaran dan kegiatan tertentu lainnya.
Menindaklanjuti kewenangan dari Pasal 22 UU PPh tersebut, Menteri Keuangan kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 154/PMK.03/2010.  PMK ini efektif berlaku mulai 31 Agustus 2010 dan merupakan peraturan Menteri Keuangan terbaru mengenai PPh Pasal 22 pada era berlakunya UU PPh Nomor 36 Tahun 2008.  Pada masa sebelumnya, peraturan mengenai PPh Pasal 22 adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan PMK Nomor 210/PMK.03/2008.
Objek PPh Pasal 22
Berbeda dengan objek PPh pada umumnya yang berupa penghasilan (income), sebagian besar objek pemungutan atau pengenaan PPh Pasal 22 justru berupa biaya atau pengeluaran (expenditure).  Jika dilihat dari sisi subjek yang dipungut, hanya ada beberapa objek PPh Pasal 22 yang berupa penghasilan (income).
Seperti yang ditetapkan dalam PMK Nomor 154/PMK.03/2010, jenis dan objek pemungutan PPh Pasal 22 serta siapa subjek yang harus melakukan pemungutan adalah sebagai berikut:
  1. PPh Pasal 22 Impor. Dalam hal ini, kegiatan yang dikenakan (objek pemungutan) PPh Pasal 22 adalah kegiatan impor barang.  Subjek yang ditunjuk untuk menjadi pemungut (collector) adalah Bank Devisa serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Sedangkan subjek yang dipungut (yang dikenakan PPh Pasal 22) adalah importir yang melakukan impor tersebut.
  2. PPh Pasal 22 Bendahara Pemerintah. Transaksi yang menjadi objek PPh Pasal 22 adalah pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah kepada vendor atau rekanan pemerintah.  Subjek pemungut PPh Pasal 22-nya adalah Bendahara Pemerintah, baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.  Sementara subjek yang dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 adalah vendor atau rekanan pemerintah.
  3. PPh Pasal 22 Semen. Objek pemungutan PPh Pasal 22 di sini adalah penjualan semen di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha industri semen.  Subjek pemungutnya adalah badan usaha yang memproduksi semen tersebut yang telah ditunjuk oleh KPP setempat sementara subjek yang terpungut (dikenakan PPh Pasal 22) adalah pihak pembeli semen.
  4. PPh Pasal 22 Kertas. Objek pemungutan PPh Pasal 22 di sini adalah penjualan kertas di dalam negeri.  Subjek pemungutnya adalah badan usaha yang memproduksi kertas tersebut yang ditunjuk oleh KPP setempat sementara subjek yang terpungut (dikenakan PPh Pasal 22) adalah pihak pembeli kertas.
  5. PPh Pasal 22 Baja. Objek pemungutan PPh Pasal 22 di sini adalah penjualan baja di dalam negeri.  Subjek pemungutnya adalah badan usaha yang memproduksi baja tersebut yang ditunjuk oleh KPP setempat sementara subjek yang terpungut (dikenakan PPh Pasal 22) adalah pihak pembeli baja.
  6. PPh Pasal 22 Otomotif. Objek pemungutan PPh Pasal 22 di sini adalah penjualan otomotif di dalam negeri.  Subjek pemungutnya adalah badan usaha yang memproduksi otomotif tersebut yang ditunjuk oleh KPP setempat sementara subjek yang terpungut (dikenakan PPh Pasal 22) adalah pihak pembeli otomotif.
  7. PPh Pasal 22 Bahan Bakar Minyak. Dalam hal ini yang menjadi objek pemungutan PPh Pasal 22 adalah penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas. Subjek pemungutnya adalah produsen ataupun importir yang menjual bahan bakar minyak, gas dan pelumas.  Sedangkan subjek yang dikenakan adalah konsumen yang membeli langsung bahan bakar minyak, gas dan pelumas dari produsen maupun importir tersebut.
  8. PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul. Di sini yang menjadi objek pemungutan PPh Pasal 22 adalah penjualan bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul kepada industri maupun eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, pertanian, perkebunan dan perikanan.  Subjek pemungutnya adalah industri dan eksportir yang melakukan pembelian yang ditunjuk oleh KPP setempat.  Sedangkan subjek yang dipungut (dikenakan) PPh Pasal 22 adalah pedagang pengumpul yang melakukan penjualan.
Dari kedelapan objek pemungutan PPh Pasal 22 tersebut, secara garis besar sebenarnya hanya ada tiga kegiatan yang dijadikan objek PPh Pasal 22 yaitu: kegiatan impor, kegiatan penjualan kepada pembeli tertentu, dan kegiatan pembelian produk tertentu dari penjual tertentu. Dan dari ketiga kegiatan itu, hanya satu yang kegiatan masuk kategori income yaitu kegiatan penjualan kepada pembeli tertentu.  Itulah sebabnya banyak praktisi pajak yang mengatakan pengenaan PPh Pasal 22 ini agak bertolak belakang dengan konsep umum PPh karena menjadikan expenditure/expense sebagai objeknya dan bukannya income atau penghasilan.
Dikecualikan dari Pemungutan PPh Pasal 22
Dari berbagai kegiatan impor atau transaksi jual-beli barang, ada beberapa yang dikecualikan dari pengenaan atau pemungutan PPh Pasal 22. Maksudnya ada beberapa kegiatan impor maupun serah terima barang yang tidak dikenakan pemungutan PPh Pasal 22.  Pengecualian ini dapat dilihat di Pasal 3 PMK Nomor 154/PMK.03/2010 (mohon maaf saya tidak bisa mencantumkannya di artikel ini karena terlalu banyaknya kelompok barang yang dikecualikan).
Hal yang perlu diingat terkait dengan pengecualian tersebut adalah bahwa sebagian besar pengecualian itu berlaku hanya apabila ada Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh KPP setempat.  Jika tidak ada SKB, maka terhadap objek tersebut akan dikenakan PPh Pasal 22.
Sampai di sini dulu artikel pertama mengenai PPh Pasal 22 ini.  Dalam artikel-artikel selanjutnya akan dibahas mengenai ketentuan PPh Pasal 22 secara lebih spesifik.  Terima kasih…
.Menghitung PPh 22 Atas Import Yang Mempunyai API
PT Koji mengimport barang elektronik yang mempunyai API dengan harga faktur US$ 100.000,-. Biaya asuransi 2%, Biaya angkut 5% dari harga faktur, tarif masuk dan bea masuk tambahan masing-masing 20% dan 10% dari CIF. Kurs yang berlaku per US$1.00 = 8500
Jawaban:

Menentukan nilai import
  • harga faktur US$ 100.000
  • biaya asuransi 2% x US$ 100.000 = US$ 2.000
  • biaya angkut 5% x US$ 100.000 = US$ 5.000
  • CIF US$ 107.000
Kursnya yang berlaku US$ 1.00 = Rp. 8.500,-
CIF (dalam rupiah) US$ 107.000 x Rp. 8.500,- = Rp. 909.500.000

Tambahan:
Bea masuk 20% x Rp. 909.500.000 = Rp. 181.900.000
Bea masuk tambahan 10% x Rp. 909.500.000 = Rp. 90.950.000
Nilai import Rp. 1.182.350.000
Menghitung PPh 22 Import dengan menggunakan API
2,5% x Rp. 1.182.350.000 = Rp. 29.558.750
Pada contoh ini importer tidak menggunakan API, besarnya PPh 22:
7,5% x Rp. 1.182.350.000 = Rp. 88.676.250

2. Menghitung PPh 22 Atas Pembelian Barang Oleh Instansi Pemerintah
Pada tanggal 1 Mei 2009 dinas pendidikan membeli mebel seharga Rp. 220.000.000 (termasuk PPN)
Jawaban:
DPP: 100/110 x Rp. 220.000.000 = Rp. 200.000.000
PPh pasal 22: 1,5% x Rp.200.000.000 = Rp. 3.000.000
  1. PT. Angin ribut memiliki nomer API,melakukan impor  sandal dari china dengan rincian sebagai berikut:
Harga komputer  (cost)           :  US$ 20,000,00
Asuransi  (insurance)               :  US$ 1,000 ,00
Biaya Angkut (freight)            :  US$ 4,000,00
Harga Pabeaan                        : US$ 25,000.00
Pungutan:
Bea masuk 20 %                     : US$ 5,000.00
Bea masuk tmbahan 10 %       : US$ 2,500.00
Apabila pada tanggal impor (sesuai dokumen impor : pemberitahuan impor barang) nilai kurs US $  1.00 = Rp. 10.000,00, maka :
  • Dasar  pengenaan PPH  Pasal 22 : US$ 32,500.00 x Rp.10.000,00=Rp. 325.000.000,00
  • PPH  pasal 22 yang harus dipungut : Rp 325.000.000,00 x 2,5 % = Rp. 8.125.000
2. Seperti nomor 1 diatas akan tetapi PT Angin ribut tidak memiliki nomer API , maka perhitungan pph pasal 22 adalah sebagai berikut :
  • Dasar pengenaan pph pasal 22 : US$ 32,500.00 x Rp.10.000,00=  Rp.325.000.000,00
  • PPH pasal 22 yang harus dipungut : Rp. 325.000.000,00 x 7,5 % = Rp24.375.000,00
3.PT SENTOSA melakukan penjualan lemari arsip kepasa departemen dalam negeri senilai Rp. 220.000.000,00. Pembayaran dilakukan oleh bendaharawan deppartemen dalam negeri. Dalam kontrak penjualan dengan pemerintah yang didanai dari APBN/APBD  biasanya harga jual sudah termasuk pajak pertumtambahan nilai sebesar 10 %.
  • Dasar pengenaan pph pasal 22 : (100/10 x Rp.220.000.000,00) = Rp. 200.000.000,00.
  • PPH pasal 22 yang dipungut  bendaharawan pemerintah dari transaksi pembayaran : 1,5 % x Rp.200.000.000,00 = Rp. 3.000.000,00


0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com