WINBIE GENESIS: makalah bahasa indonesia winbie genesis

Pages

Thursday, December 6, 2012

makalah bahasa indonesia





BAB  I
PENDAHULUAN

Keberadaan puisi erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dan tidak bisa lepas pula dari masyarakat dan budaya tempat lahirnya puisi itu sendiri. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Subagio (1980:14) yang mengatakan bahwa sastra (puisi) tak bisa lepas dari produk zaman yang melahirkan sastra itu. Karya sastra khu-susnya puisi merupakan cerminan masyarakat dan budaya yang nampak di
dalamnya, terutama sikap pengarang dan pengalaman-pengalaman hidupnya dalam masyarakat dan budayanya.
Dibandingkan dengan bentuk-bentuk cipta sastra yang lain, puisilah yang paling sulit untuk dipahami. Hal tersebut bukan karena para penyair itu mempunyai bahasa sendiri, melainkan terbawa oleh sifat atau watak yang dimiliki bentuk cipta sastra puisi itu sendiri.
Karya sastra (puisi) merupakan benda yang tidak mudah dipahami tanpa diberi makna oleh pembacanya. Seorang penyair dalam mengekspresikan idenya menggunakan bahasa. Bahasa merupakan sistem semiotik atau sistem tanda. Maka pembaca dituntut harus mengerti benar apa semiotik dan jenisnya agar mempermudah dalam proses pemaknaan.
Karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang meng-gunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sis-tem semiotik atau ketandaan (Pradopo, 1993:122).
Secara historis perkembangan puisi semakin lama semakin baik. Kumpul-an atau antologi puisi semakin banyak diterbitkan dan kreatifitas penyair pun menun-jukkan perkembangan yang positif. Perkembangan ini ditandai dengan ciri-ciri terten-tu. Ciri-ciri tersebut sangat bergantung pada situasi zamannya.
Dengan situasi dan kondisi demikian sebagai pengaruh positif dunia pen-didikan kita dewasa ini, akan membawa pengaruh pula pada  suatu kesadaran bagi masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Terciptanya kesadaran berbangsa dan bernegara ini akan membawa pula pada suatu kesadaran untuk menghargai hasil ke-budayaan itu sendiri, khususnya terhadap karya sastra (puisi).
Menyadari pentingnya pemahaman terhadap karya puisi maka para penya-ir, penikmat, kritikus, masyarakat, dan para cendikiawan terus berusaha untuk lebih apresiatif terhadap karya-karya puisi. Terciptanya kesadaran ini jelas menimbulkan gejala yang positif, karena secara tidak langsung masyarakat sudah mempunyai usaha untuk menggali nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra puisi tersebut. Jika ma-syarakat luas sudah mempunyai kecenderungan demikian, maka diharapkan nilai-nilai agung yang terkandung dalam suatu karya sastra puisi dapat dimengerti dan selanjutnya bisa dimanifestasikan ke dalam bentuk pola pikir dan pola sikap dirinya dalam menyelami hidup ini.
Subagio Sastrowardoyo menilai karya-karya D.Zawawi Imron telah mem-perlihatkan kedewasaan dalam sajak-sajaknya. Pengekakangan diri dalam pemilihan kata-kata dan ungkapan perbandingan yang pekat dengan kandungan pikiran yang matang dipertimbangkan. Kiasan-kiasan dan lambang-lambang yang meramu bahan-bahannya diambil dari daerah hidupnya yang keras di pulau Madura menjadi kerang-ka penglihatannya yang konkrit terhadap nasib yang tak menentu.









BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1        Tinjauan tentang Kumpulan Puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin Karya D. Zawawi Imron
2.1.1        Pengertian Puisi
Karya sastra terdiri atas dua jenis sastra (genre), yaitu puisidan prosa. Bia-sanya, puisi disebut sebagai karangan terikat, sedangkan prosa disebut sebagai ka-rangan bebas.
Dalam kesusastraan Indonesia ada dua istilah puisi dan sajak. Kedua istilah ini sering dicampuradukkan penggunaannya. Misalnya sajak Chairil Anwar disebut juga puisi Chairil Anwar; sajak Aku disebut juga puisi Aku.  Hal ini disebabkan oleh masuknya istilah puisi dari bahasa asing ke dalam sastra Indonesia. Istilah ini berasal dari bahasa Belanda poezie. Dalam bahasa Belanda ada istilah lain gedicht  yang ber-arti sajak, tetapi istilah gedicth tidak diambil ke dalam bahasa Indonesia (Pradopo, 1997:1.3).
Pengertian sajak identik dengan pengertian puisi. Di SMA, puisi biasa dide-finisikan sebagai karangan yang terikat oleh: (1) banyak baris dalam tiap bait; (2) banyak kata dalam tiap baris; (3) banyak suku kata dalam tiap baris, (4) rima; dan (5) irama.
Puisi itu karangan terikat berarti puisi itu terikat oleh aturan-aturan ketat. Akan tetapi, pada waktu sekarang, para penyair berusaha melepaskan diri dari aturan yang ketat itu. Dengan demikian, terjadilah kemudian apa yang disebut dengan sajak bebas.
Puisi merupakan hasil karya sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kadang-kadang kata ki-asan. Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani “Pueima” yang ber-arti membuat, “Poem” atau “Poetry” diartikan membuat atau penciptaan (Tarigan, 1984:4). Pada dasarnya seseorang telah menciptakan dunia tersendiri yang mungkin berisi besar atau gambaran suasana tertentu, baik fisik maupun batin.
Menurut Herbert Spencer (dalam Waluyo, 1987:23) menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk pengucapan gagasan yang bersifat emosional dengan pertim-bangan efek keindahan. Sedangkan Samuel Johnson (dalam Waluyo, 1987:23) me-ngatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan yang penuh daya yang berpangkal pada emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian. Dengan sing-kat pula Jassin (dalam Waluyo, 1987:23) mengatakan bahwa puisi adalah pengucapan dengan perasaan. Dalam puisi, pikiran dan perasaan seolah-olah bersayap, sehingga boleh dikatakan, puisi merupakan pelahiran manusia seutuhnya.
Ditinjau dari struktur fisik puisi, Slamet Muljana (dalam Waluyo, 1987:23) menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk kesusastraan yang menggunakan pengu-langan suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata tersebut  menghasilkan rima, ritma dan musikalitas.
Berdasarkan beberapa uraian dan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa puisi adalah pernyataan yang imajinatif, emosional, dan pengetahuan penyair yang diperoleh dari kehidupan individu dan sosialnya, sehingga mampu membangkit-kan pengalaman tertentu dalam diri pembaca atau penikmatnya.
2.2        Unsur Semiotik
2.2.1        Pengertian
Semiotik (semiotika) adalah ilmu tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bah-wa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memung-kinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Preminger dalam Pradopo (1995:119) menjelaskan bahwa penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah peng-gunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai arti.
Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu pe-tanda (signifer) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang me-nandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti “orang yang melahirkan kita”.
Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu: ikon,  indeks, dan simbol (Pradopo, 1995:120).
Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat ala-miah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (pentanda) sebagai arti-nya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan klausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin me-nunjukkan arah angin, dan sebagainya.
Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alami-ah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya) Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. “Ibu” adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother, Peran-cis menyebutnya la mere dan sebagainya. Adanya macam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol (Pradopo, 1995:120).
Preminger lebih lanjut menjelaskan (dalam Pradopo, 1993:123) bahwa ba-hasa sebagai sistem semiotik diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tam-bahan yang memberikan makna dan efek-efek lain dari arti yang diberikan oleh peng-gunaan bahasa biasa. Yang dimaksudkan konvensi tambahan adalah konvensi sastra diluar kebahasaan; misalnya saja tipografi, enjambement, persajakan, dan konvensi-konvensi yang lain yang ada dalam sastra. Oleh karena memberi makna sajak itu ada-lah mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sajak, maka menga-nalisis sastra (sajak) itu tidak lain adalah memburu tanda-tanda.
Untuk memberikan/memperoleh kajian yang dapat dipertanggungjawab-kan  secara ilmiah dalam penelitian ini, akan dibahas hal-hal yang berkenaan dengan masalah. Di dalam penelitian ini lebih lanjut akan dibahas masalah simbol.
2.2.2        Simbol
Istilah Simbol atau lambang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari misalnya bulan sebagai simbol wanita, kecantikan, keindahan dan bunga sebagai sim-bol cinta, cantik dan seorang gadis. Simbol atau lambang adalah suatu obtek yang hi-dup atau tidak hidup (bernyawa atau tidak) yang mewakili sesuatu yang lain. Badrun menegaskan bahwa simbol adalah sesuatu yang mewakili yang lain (1989:37). Dengan demikian, simbol dengan yang disimbolkan tidak sama. Ia senantiasa mem-punyai arti atau makna yang lebih kecil, lebih miskin daripada sesuatu yang disimbol-kan (Suharianto, 1980:5).
Makna sebuah simbol atau lambang ditentukan oleh konteksnya. Sastra-wan atau penyair hanya menyajikan konteksnya dan pembacalah yang menentukan maknanya. Artinya seorang pembaca harus memiliki berbagai informasi atau penge-tahuan untuk menentukan makna simbol itu. Dengan kata lain, berhadapan dengan simbol tidak sama dengan menghadapi benda-benda mati, karena pada saat itu kita dituntut bisa menafsirkan simbol apa yang dipergunakan. Dan berjumpalah kita se-bagai subjek dengan objek yang sesungguhnya yang semula ditampilkan dalam ben-tuk simbol tersebut.
Macam-macam simbol ditentukan oleh keadaan atau peristiwa apa yang digunakan oleh penyair untuk  mengganti keadaan atau peristiwa itu. Dalam hubung-an ini, maka simbol atau lambang dapat dibedakan menjadi: (1) Simbol atau lambang warna, (2) Simbol atau lambang benda, (3) Simbol atau lambang bunyi, dan (4) Sim-bol atau lambang suasana.
2.2.2.1        Simbol Warna
Warna mempunyai karakteristik watak tertentu. Banyak puisi yang menggu-nakan simbol warna untuk mengungkapka perasaan penyair. Misalnya judul-judul puisi yang menunjukkan simbol warna: Sajak Putih, Serenada Biru,  Serenada Merah Padam, Ciliwung yang Coklat, dan Malam Kelabu.
Untuk menyatakan bahwa kota Jakarta tidak memberikan harapan bahkan bersikap kejam terhadap pengemis kecil, Toto Sudarto Bachtiar melukiskan dengan lambang: “Tengadah padaku / Pada bulan merah jambu”. Langit yang digambarkan memberikan suasana penuh harapan, dilukiskan dengan “Langit biru lazuardi”, dan sebagainya (Waluyo, 1987:88).
4.1         Deskripsi Kualitatif Unsur Semiotik dalam Kumpulan Puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin Karya D. Zawai Imron
Dari hasil identifikasi dan klasifikasi unsur semiotik yang terdapat dalam kumpulan puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin karya D.Zawawi Imron dapat disimpulkan sebagai berikut:
4.1.1        Simbol Warna
Penggunaan simbol atau lambang warna dalam kumpulan puisi “Bantalku Ombak Selimutku Angin” karya D. Zawawi Imron sangat banyak digunakan. Pada puisi Pahlawan dari Sampang terdapat penggunaan unsur semiotik berupa simbol warna misalnya pada bait keempat sebagai berikut:
dialah dulu
manusia berdarah air lengkuas
yang berucap dengan tandas,
--    dalam tertindas
putih mata adalah bangkai
putih tulang adalah surga

                                    (BOSA, 1996:103)

Penggunaan simbol warna pada bait /dalam tertindas/ /putih mata adalah bangkai/ /putih tulang adalah surga/ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia putih mata berarti mendapat malu atau kurang senang atau sakit hati, sedangkan putih tulang adalah ‘mati’. Pada puisi Senja yang Merah terdapat penggunaan unsur semiotik berupa simbol warna misalnya pada bait /Bercampur darah/  /tanah pun jadi jingga/  /dijilati lidah senja/, kata ‘jingga’ adalah warna kuning kemerah-merahan sama dengan senja yang berarti hari mulai malam merupakan gambaran sebuah harapan yang hampir habis, diperkuat pada bait /bahwa bulanku yang kini ungu/. Perhatikan kutipan bait berikut:
turun memanjat di bawah pangkal pelepah
salampar putus, waktu pun tersentak
doa terbang mengetuk surga
nira tergenang di tanah
bercampur darah
tanah pun jadi jingga
dijilati lidah senja

-          sampaikan kepada dua harapanku
bahwa bulanku yang kini ungu
buat buat mereka selalu –
                                                (BOSA, 1996:105)

Pada puisi Di bawah Layar terdapat penggunaan unsur semiotik berupa simbol warna misalnya pada bait /Mengalir pasir pantai yang putih/, putih berarti murni suci tidak ternoda merupakan perlambangan dari pulau yang tak berpenghuni dengan pasir putih yang seakan-akan mengalir bersih.  Perhatikan petikan berikut:
selagi layar berlagu, akulah
rindu, akulah
nyala
aku pun singgah
di pulau kecil tak berpenghuni
menggali pasir pantai yang putih
o, telur penyu berpuluh-puluh

……………………………………….
lima hari berbantal ombak
berselimut angin
baru kutiba di pantai losari
pisang panggang
dan sarung makasar yang merah kesumba
mengajarku hidup di laut
karena lama di darat aku tak betah

………………………………………..
kekurangan air minum
ayo singgah di pantai jepara
sore campur senja
laut campur jingga
aku pun jadi saksi
matahari yang tenggelam ke laut jawa
tapi ada sebuah nama
sebuah cahaya
yang tak mungkin tenggelam
dialah
kartini
yang telah jadi derap di mana-mana

                                                      (BOSA, 1996:110)






BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penggunaan simbol warna dalam kumpulan puisi “Bantalku Ombak Selimutku Angin” karya D. Zawawi Imron juga ditemukan penggunaannya. Simbol warna yang dipilihnya seperti putih, jingga, hijau, ungu, merah kesumba, merah, biru, dan coklat.
Dari ketujuh judul puisi yang terdapat dalam kumpuluan puisi  “Bantalku Ombak Selimutku Angin” semuanya menggunakan unsur semiotik berupa simbol warna, puisi tersebut meliputi Senja yang Merah, Di bawah layar, Di Tengah Hamparan Sawah, dan Pertemuan dengan Pak Dirman.
3.2  Saran-Saran
Berdasarkan kajian dalam makalah ini penulis menyampaikan saran kepada para peneliti sastra seperti tertera di bawah ini.
1.      Mengkaji lebih luas lagi tentang Unsur semiotik dari aspek yang lain dalam kumpulan puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin karya D. Zawawi Imron.
2.      Mengkaji kumpulan puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin karya D. Zawawi Imron dari sudut pandang yang lain.
3.      Para guru hendaknya menggunakan hasil penelitian ini untuk pengembangan pembelajaran sastra Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud.  1997.  Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Faisal, Sanapiah. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan.  Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasan.
Santoso, Puji. 1993.  Ancangan Semiotik dan Pengkajian Susastra. Bandung:  Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1984.  Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung:  Angkasa.
Waluyo, Herman J. 1987.  Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:  Angkasa.
----------, 2002. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zawawi Imron, D. 1996. Bantalku Ombak Selimutku Angin. Yogyakarta: ITTAQA Press.


0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com