BAB I
PENDAHULUAN
Keberadaan puisi erat kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari dan tidak bisa lepas pula dari masyarakat dan budaya tempat
lahirnya puisi itu sendiri. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Subagio
(1980:14) yang mengatakan bahwa sastra (puisi) tak bisa lepas dari produk zaman
yang melahirkan sastra itu. Karya sastra khu-susnya puisi merupakan cerminan
masyarakat dan budaya yang nampak di
dalamnya, terutama sikap pengarang dan pengalaman-pengalaman hidupnya dalam masyarakat dan budayanya.
dalamnya, terutama sikap pengarang dan pengalaman-pengalaman hidupnya dalam masyarakat dan budayanya.
Dibandingkan dengan bentuk-bentuk cipta sastra yang
lain, puisilah yang paling sulit untuk dipahami. Hal tersebut bukan karena para
penyair itu mempunyai bahasa sendiri, melainkan terbawa oleh sifat atau watak
yang dimiliki bentuk cipta sastra puisi itu sendiri.
Karya sastra (puisi) merupakan benda yang tidak
mudah dipahami tanpa diberi makna oleh pembacanya. Seorang penyair dalam
mengekspresikan idenya menggunakan bahasa. Bahasa merupakan sistem semiotik
atau sistem tanda. Maka pembaca dituntut harus mengerti benar apa semiotik dan
jenisnya agar mempermudah dalam proses pemaknaan.
Karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna.
Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai
makna yang meng-gunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah
merupakan sis-tem semiotik atau ketandaan (Pradopo, 1993:122).
Secara historis perkembangan puisi semakin lama
semakin baik. Kumpul-an atau antologi puisi semakin banyak diterbitkan dan
kreatifitas penyair pun menun-jukkan perkembangan yang positif. Perkembangan
ini ditandai dengan ciri-ciri terten-tu. Ciri-ciri tersebut sangat bergantung
pada situasi zamannya.
Dengan situasi dan kondisi demikian sebagai pengaruh
positif dunia pen-didikan kita dewasa ini, akan membawa pengaruh pula pada suatu kesadaran bagi masyarakat dalam
berbangsa dan bernegara. Terciptanya kesadaran berbangsa dan bernegara ini akan
membawa pula pada suatu kesadaran untuk menghargai hasil ke-budayaan itu
sendiri, khususnya terhadap karya sastra (puisi).
Menyadari pentingnya pemahaman terhadap karya puisi
maka para penya-ir, penikmat, kritikus, masyarakat, dan para cendikiawan terus
berusaha untuk lebih apresiatif terhadap karya-karya puisi. Terciptanya
kesadaran ini jelas menimbulkan gejala yang positif, karena secara tidak
langsung masyarakat sudah mempunyai usaha untuk menggali nilai-nilai yang
terkandung dalam karya sastra puisi tersebut. Jika ma-syarakat luas sudah
mempunyai kecenderungan demikian, maka diharapkan nilai-nilai agung yang
terkandung dalam suatu karya sastra puisi dapat dimengerti dan selanjutnya bisa
dimanifestasikan ke dalam bentuk pola pikir dan pola sikap dirinya dalam
menyelami hidup ini.
Subagio Sastrowardoyo menilai karya-karya D.Zawawi
Imron telah mem-perlihatkan kedewasaan dalam sajak-sajaknya. Pengekakangan diri
dalam pemilihan kata-kata dan ungkapan perbandingan yang pekat dengan kandungan
pikiran yang matang dipertimbangkan. Kiasan-kiasan dan lambang-lambang yang
meramu bahan-bahannya diambil dari daerah hidupnya yang keras di pulau Madura
menjadi kerang-ka penglihatannya yang konkrit terhadap nasib yang tak menentu.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan
tentang Kumpulan Puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin Karya D. Zawawi Imron
2.1.1
Pengertian
Puisi
Karya sastra terdiri atas dua jenis sastra (genre),
yaitu puisidan prosa. Bia-sanya, puisi disebut sebagai karangan terikat,
sedangkan prosa disebut sebagai ka-rangan bebas.
Dalam kesusastraan Indonesia ada dua istilah puisi
dan sajak. Kedua istilah ini sering dicampuradukkan penggunaannya. Misalnya
sajak Chairil Anwar disebut juga puisi Chairil Anwar; sajak Aku disebut juga
puisi Aku. Hal ini disebabkan oleh
masuknya istilah puisi dari bahasa asing ke dalam sastra Indonesia. Istilah ini
berasal dari bahasa Belanda poezie. Dalam bahasa Belanda ada istilah
lain gedicht yang ber-arti sajak,
tetapi istilah gedicth tidak diambil ke dalam bahasa Indonesia (Pradopo,
1997:1.3).
Pengertian sajak identik dengan pengertian puisi. Di
SMA, puisi biasa dide-finisikan sebagai karangan yang terikat oleh: (1) banyak
baris dalam tiap bait; (2) banyak kata dalam tiap baris; (3) banyak suku kata
dalam tiap baris, (4) rima; dan (5) irama.
Puisi itu karangan terikat berarti puisi itu terikat
oleh aturan-aturan ketat. Akan tetapi, pada waktu sekarang, para penyair
berusaha melepaskan diri dari aturan yang ketat itu. Dengan demikian,
terjadilah kemudian apa yang disebut dengan sajak bebas.
Puisi merupakan hasil karya sastra yang kata-katanya
disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan
kadang-kadang kata ki-asan. Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa
Yunani “Pueima” yang ber-arti membuat, “Poem” atau “Poetry”
diartikan membuat atau penciptaan (Tarigan, 1984:4). Pada dasarnya seseorang
telah menciptakan dunia tersendiri yang mungkin berisi besar atau gambaran
suasana tertentu, baik fisik maupun batin.
Menurut Herbert Spencer (dalam Waluyo, 1987:23)
menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk pengucapan gagasan yang bersifat
emosional dengan pertim-bangan efek keindahan. Sedangkan Samuel Johnson (dalam
Waluyo, 1987:23) me-ngatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari
perasaan yang penuh daya yang berpangkal pada emosi yang berpadu kembali dalam
kedamaian. Dengan sing-kat pula Jassin (dalam Waluyo, 1987:23) mengatakan bahwa
puisi adalah pengucapan dengan perasaan. Dalam puisi, pikiran dan perasaan
seolah-olah bersayap, sehingga boleh dikatakan, puisi merupakan pelahiran
manusia seutuhnya.
Ditinjau dari struktur fisik puisi, Slamet Muljana
(dalam Waluyo, 1987:23) menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk kesusastraan
yang menggunakan pengu-langan suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata
tersebut menghasilkan rima, ritma dan
musikalitas.
Berdasarkan beberapa uraian dan pendapat di atas
maka dapat disimpulkan bahwa puisi adalah pernyataan yang imajinatif,
emosional, dan pengetahuan penyair yang diperoleh dari kehidupan individu dan
sosialnya, sehingga mampu membangkit-kan pengalaman tertentu dalam diri pembaca
atau penikmatnya.
2.2
Unsur
Semiotik
2.2.1
Pengertian
Semiotik (semiotika) adalah ilmu tanda-tanda. Ilmu
ini menganggap bah-wa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan
konvensi-konvensi yang memung-kinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Preminger dalam Pradopo (1995:119) menjelaskan bahwa penelitian semiotik
meliputi analisis sastra sebagai sebuah peng-gunaan bahasa yang bergantung pada
(ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat)
yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai arti.
Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai
dua aspek yaitu pe-tanda (signifer) dan petanda (signified). Penanda adalah
bentuk formalnya yang me-nandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda
adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata
“ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti “orang yang
melahirkan kita”.
Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada
tiga jenis tanda yang pokok, yaitu: ikon,
indeks, dan simbol (Pradopo, 1995:120).
Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan
yang bersifat ala-miah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah
hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda
(pentanda) sebagai arti-nya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon
menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan
klausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai
api, alat penanda angin me-nunjukkan arah angin, dan sebagainya.
Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan alami-ah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat
arbitrer (semau-maunya) Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. “Ibu” adalah
simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang
Inggris menyebutnya mother, Peran-cis menyebutnya la mere dan
sebagainya. Adanya macam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan
“kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah
simbol (Pradopo, 1995:120).
Preminger lebih lanjut
menjelaskan (dalam Pradopo, 1993:123) bahwa ba-hasa sebagai sistem semiotik
diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tam-bahan yang memberikan makna
dan efek-efek lain dari arti yang diberikan oleh peng-gunaan bahasa biasa. Yang
dimaksudkan konvensi tambahan adalah konvensi sastra diluar kebahasaan;
misalnya saja tipografi, enjambement, persajakan, dan konvensi-konvensi yang
lain yang ada dalam sastra. Oleh karena memberi makna sajak itu ada-lah mencari
tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sajak, maka menga-nalisis sastra
(sajak) itu tidak lain adalah memburu tanda-tanda.
Untuk
memberikan/memperoleh kajian yang dapat dipertanggungjawab-kan secara ilmiah dalam penelitian ini, akan
dibahas hal-hal yang berkenaan dengan masalah. Di dalam penelitian ini lebih
lanjut akan dibahas masalah simbol.
2.2.2
Simbol
Istilah Simbol atau lambang sering dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari misalnya bulan sebagai simbol wanita, kecantikan,
keindahan dan bunga sebagai sim-bol cinta, cantik dan seorang gadis. Simbol
atau lambang adalah suatu obtek yang hi-dup atau tidak hidup (bernyawa atau
tidak) yang mewakili sesuatu yang lain. Badrun menegaskan bahwa simbol adalah
sesuatu yang mewakili yang lain (1989:37). Dengan demikian, simbol dengan yang
disimbolkan tidak sama. Ia senantiasa mem-punyai arti atau makna yang lebih
kecil, lebih miskin daripada sesuatu yang disimbol-kan (Suharianto, 1980:5).
Makna sebuah simbol atau lambang ditentukan oleh
konteksnya. Sastra-wan atau penyair hanya menyajikan konteksnya dan pembacalah
yang menentukan maknanya. Artinya seorang pembaca harus memiliki berbagai
informasi atau penge-tahuan untuk menentukan makna simbol itu. Dengan kata
lain, berhadapan dengan simbol tidak sama dengan menghadapi benda-benda mati,
karena pada saat itu kita dituntut bisa menafsirkan simbol apa yang
dipergunakan. Dan berjumpalah kita se-bagai subjek dengan objek yang
sesungguhnya yang semula ditampilkan dalam ben-tuk simbol tersebut.
Macam-macam simbol ditentukan oleh keadaan atau
peristiwa apa yang digunakan oleh penyair untuk
mengganti keadaan atau peristiwa itu. Dalam hubung-an ini, maka simbol
atau lambang dapat dibedakan menjadi: (1) Simbol atau lambang warna, (2) Simbol
atau lambang benda, (3) Simbol atau lambang bunyi, dan (4) Sim-bol atau lambang
suasana.
2.2.2.1
Simbol Warna
Warna mempunyai karakteristik watak
tertentu. Banyak puisi yang menggu-nakan simbol warna untuk mengungkapka
perasaan penyair. Misalnya judul-judul puisi yang menunjukkan simbol warna:
Sajak Putih, Serenada Biru, Serenada
Merah Padam, Ciliwung yang Coklat, dan Malam Kelabu.
Untuk menyatakan bahwa kota Jakarta
tidak memberikan harapan bahkan bersikap kejam terhadap pengemis kecil, Toto
Sudarto Bachtiar melukiskan dengan lambang: “Tengadah padaku / Pada bulan merah
jambu”. Langit yang digambarkan memberikan suasana penuh harapan, dilukiskan
dengan “Langit biru lazuardi”, dan sebagainya (Waluyo, 1987:88).
4.1
Deskripsi Kualitatif Unsur Semiotik dalam Kumpulan
Puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin Karya D. Zawai Imron
Dari hasil identifikasi dan klasifikasi unsur semiotik yang
terdapat dalam kumpulan puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin karya D.Zawawi
Imron dapat disimpulkan sebagai berikut:
4.1.1
Simbol
Warna
Penggunaan simbol atau lambang warna dalam kumpulan puisi
“Bantalku Ombak Selimutku Angin” karya D. Zawawi Imron sangat banyak digunakan.
Pada puisi Pahlawan dari Sampang terdapat penggunaan unsur semiotik
berupa simbol warna misalnya pada bait keempat sebagai berikut:
dialah dulu
manusia berdarah air lengkuas
yang berucap dengan tandas,
-- dalam tertindas
putih mata adalah bangkai
putih tulang adalah surga
(BOSA,
1996:103)
Penggunaan simbol warna pada bait /dalam
tertindas/ /putih mata adalah bangkai/ /putih tulang adalah surga/ menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia putih mata berarti mendapat malu atau
kurang senang atau sakit hati, sedangkan putih tulang adalah ‘mati’. Pada
puisi Senja yang Merah terdapat penggunaan unsur semiotik berupa simbol
warna misalnya pada bait /Bercampur darah/
/tanah pun jadi jingga/ /dijilati
lidah senja/, kata ‘jingga’ adalah warna kuning kemerah-merahan sama dengan
senja yang berarti hari mulai malam merupakan gambaran sebuah harapan yang
hampir habis, diperkuat pada bait /bahwa bulanku yang kini ungu/.
Perhatikan kutipan bait berikut:
turun memanjat di bawah pangkal pelepah
salampar putus, waktu pun tersentak
doa terbang mengetuk surga
nira tergenang di tanah
bercampur darah
tanah pun jadi jingga
dijilati lidah senja
-
sampaikan kepada dua harapanku
bahwa bulanku yang kini ungu
buat buat mereka selalu –
(BOSA,
1996:105)
Pada puisi Di bawah Layar terdapat penggunaan unsur
semiotik berupa simbol warna misalnya pada bait /Mengalir pasir pantai yang
putih/, putih berarti murni suci tidak ternoda merupakan perlambangan dari pulau yang tak berpenghuni
dengan pasir putih yang seakan-akan mengalir bersih. Perhatikan petikan berikut:
selagi layar berlagu, akulah
rindu, akulah
nyala
aku pun singgah
di pulau kecil tak berpenghuni
menggali pasir pantai yang putih
o, telur penyu berpuluh-puluh
……………………………………….
lima hari berbantal ombak
berselimut angin
baru kutiba di pantai losari
pisang panggang
dan sarung makasar yang merah kesumba
mengajarku hidup di laut
karena lama di darat aku tak betah
………………………………………..
kekurangan air minum
ayo singgah di pantai jepara
sore campur senja
laut campur jingga
aku pun jadi saksi
matahari yang tenggelam ke laut jawa
tapi ada sebuah nama
sebuah cahaya
yang tak mungkin tenggelam
dialah
kartini
yang telah jadi derap di mana-mana
(BOSA,
1996:110)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penggunaan simbol warna dalam
kumpulan puisi “Bantalku Ombak Selimutku Angin” karya D. Zawawi Imron juga
ditemukan penggunaannya. Simbol warna yang dipilihnya seperti putih, jingga,
hijau, ungu, merah kesumba, merah, biru, dan coklat.
Dari ketujuh judul puisi yang
terdapat dalam kumpuluan puisi “Bantalku
Ombak Selimutku Angin” semuanya menggunakan unsur semiotik berupa simbol warna,
puisi tersebut meliputi Senja yang Merah, Di bawah layar, Di Tengah Hamparan Sawah, dan Pertemuan
dengan Pak Dirman.
3.2 Saran-Saran
Berdasarkan kajian dalam makalah ini penulis
menyampaikan saran kepada para peneliti sastra seperti tertera di bawah ini.
1.
Mengkaji lebih luas lagi
tentang Unsur semiotik dari aspek yang lain dalam kumpulan puisi Bantalku Ombak
Selimutku Angin karya D. Zawawi Imron.
2.
Mengkaji kumpulan puisi
Bantalku Ombak Selimutku Angin karya D. Zawawi Imron dari sudut pandang yang
lain.
3.
Para guru hendaknya menggunakan
hasil penelitian ini untuk pengembangan pembelajaran sastra Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. 1997. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Faisal, Sanapiah. 1982. Metodologi
Penelitian Pendidikan. Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasan.
Santoso, Puji. 1993. Ancangan Semiotik dan Pengkajian Susastra.
Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1984.
Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Angkasa.
----------, 2002. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Zawawi Imron, D. 1996. Bantalku Ombak Selimutku Angin. Yogyakarta:
ITTAQA Press.
0 comments:
Post a Comment